Oleh: Adolardus Gunung
Tak dipungkiri, ibu merupakan sosok yang multitalenta dalam melakoni bathera rumah tangga. Perannya dalam mengokohkan kehidupan rumah tangga tak diragukan lagi. Meskipun dalam konteks kehidupan berumah tangga ayah merupakan tulang punggung keluarga, namun dalam faktanya ibu tidak kalah saing dengan peran seorang ayah. Justru seorang ibu merupakan eksekutif dalam menyukseskan segala hal dalam kehidupan rumah tangga, karena dialah management keluarga.
Melalui tulisan sederhana ini, saya ingin berbagi kisah tentang perjalanan hidup saya yang dimonitoring oleh sosok ibu yang menurut saya merupakan tempat sekolah pertama sebelum mengenal pendidikan yang lebih luas. Saya adalah anak ke-7 dari 7 bersaudara. Saya berasal dari ujung timur negeri ini, Flores-NTT. Kedua orang tua saya berprofesi sebagai petani, yang kesehariannya berladang dan bertani: kopi, sawah, dan lain-lain.
Suatu hari, saya dan ibu saya duduk termenung di pondok dekat sawah yang terletak ribuan kilometer dari kampung. Ketika itu, ibu saya pernah menceritakan tentang kisah masa lalu sewaktu saya masih balita. Dia bercerita tentang betapa kerasnya kehidupan di kala itu. Belum mengenal padi, keseharian hanya makan jagung dan ubi. Ketika itu ayah saya merantau di luar daerah. Setiap bulan pun jarang mengirimkan uang untuk kami, karena ayah saya juga dalam keadaan susah. Sementara stok makanan kami sudah mulai menipis kala itu. Namun ibu saya tak kurang daya, tetap mampu memanajement kebutuhan keluarga. Setelah ibu saya menceritkan penggalan ceritanya, terlintas di kepala saya tentang bagaimana seorang ibu terlepas dari latar belakang pendidikannya yang minim, namun mampu memanagement dalam mengokohkan keluarga.
Ibu saya pun terus menceritakan tentang bagaimana dia mengajarkan saya hingga saya bisa berjalan, berbicara, menulis, menghitung, dan lain sebagainya. Suatu waktu, tepatnya di sore hari. Ketika itu, saudara-saudara saya yang lain sedang berada di luar. Hanya duduk berduaan sama ibu saya. Dia menceritakan pertama kali mengajarkan saya berjalan. Susah, karena memang usia saya belum terlalu cukup. Namun ibu saya tetap memonitoring saya, tak pernah putus asa. Sampe pada waktunya, sayapun akhirnya sedikit demi sedikit bisa berjalan, walaupun sepenuhnya masih belum sempurna.
Kemudian, ibu menceritakan lagi tentang sewaktu saya belajar berbicara, saya selalu melihat ibu saya saat bicara. Dia terus menyisihkan waktu untuk mengajarkan saya berbicara. Karena baginya, anak kecil sangat membutuhkan sugesti, terutama dari orang tuanya. Sedikit demi sedikit, saya pun diajari untuk menulis. Pada awalnya saya, memang susah diajarkan, namun berkat kesabaran ibu saya, akhirnya lama kelamaan sayapun mulai mengenal huruf-huruf dan mampu untuk menulisnya dalam kertas. Kemudian, sayapun diajarkan untuk membaca tulisan yang telah saya tulis di atas kertas tersebut. Dan akhirnya pada waktunya, tepatnya tahun ajaran 2004/2005, saya masuk di Sekolah Dasar (SD) yang terletak tidak jauh dari kampung halaman. Sayapun tamat tahun 2010. Kemudian, saya masuk di salah satu sekolah menengah pertama Negeri di Desa Bangka Ruang, lumayan jauh dari kampung saya tinggal. Tamat tahun 2013. Kemudian, tahun 2014. Saya masuk Sekolah Menengah Pertama di salah satu sekolah Negeri favorit di Ibu kota Kabupaten, tepatnya di Ruteng Manggarai. Tamat tahun 2016. Kemudian pada September 2016, saya pun masuk di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta, Universitas Krisnadwipayana. Dan akhirnya, bulan Agustus 2020 kemarin, saya telah mengikuti sidang skripsi dan lulus.
Ini merupakan sebuah pengalaman yang berharga dalam hidup saya sekaligus merupakan pesan moral yang sangat bermakna. Intinya adalah, “proses tidak mengkianati hasil”. Selama kita masih bisa berjuang, maka jangan ada kata putus asa, karena Tuhan pasti beri yang terbaik untuk yang tulus dalam berjuang. Dan ini semua tentunya berkat ibu selaku sekolah pertamaku dan ayah selaku tulang punggung.
Akhiranya, tibalah waktunya saya sudah mulai mengerti di usia yang ke-6 tahun, dua tahun sebelum saya masuk Sekolah Dasar (SD). Di sinilah waktu emas saya berpenganalan bersama ibu. Semua hal-hal yang unik dan bahagia pernah saya rasakan. Kala itu, saya tergolong anak yang manja, dari keenam saudara-saudara yang lainnya. Akibatnya, saya agak malas. Ayah saya tak pernah absen untuk marah, karena hampir setiap sore, saya selalu malas untuk mandi. Malas bekerja. Ayah saya kemudian marah-marah, namun ibu justru terbalik dari ayah saya. Ibu saya suruhnya dengan cara bujukan yang lembut, dan akhirnya hanya beberapa kali bujuk saja, saya langsung mandi. Setelah saya masuk kamar mandi, tidak sengaja saya mendengar dialog singkat antar ibu saya dengan ayah saya. Ibu berkata kepada ayah saya “bukankah sifat marah-marah itu tidak menyelesaikan masalah”. Bersabarlah. Akhirnya bapak saya diam tersipu. Saat itu langsung terlintas di pikiran saya bahwa ibu adalah sekolah pertamaku.
Setiap kali ibu saya kekebun, saya selalu ikut menemaninya. Ibu selalu mendoktrin saya tentang bagaimana kita harus bekerja keras. Tentang hal-hal baik lainnya. Dan yang paling utama yang dia nasehati adalah bahwa saya harus berjuang untuk sekolah agar bisa menjadi orang yang sukses di masa yang akan datang.
Dan akhirnya, sekarang waktunya tiba, di mana saat ini saya sudah berhasil meraih gelar sarjana. Meskipun ini merupakan masih langkah awal, namun saya sangat bangga dan bersyukur pada kedua orang tua saya, terutama ibu selaku sekolah pertmaku. Ini semua berkat doa dan dorongan mereka. Akhirnya, diakhir tulisan ini saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada ibu selaku sekolah pertamaku dan ayah yang selalu menjadi tulang punggung dalam keluarga saya. Hanya doa yang kulakukan sebagai balas jasa budi kalian. Love so much.
Sekian penggalan pengalamn saya bersama ibu selaku sekolah pertamaku. Terima kasih.