Jrgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog berpengaruh, mengembangkan teori ruang publik yang signifikan dalam memahami dinamika demokrasi dan pembentukan opini publik. Teori ini, yang termaktub dalam karyanya yang monumental, Struktur Transformasi Publik (Strukturwandel der ffentlichkeit), Â menganalisis perkembangan ruang publik borjuis di Eropa Barat dan implikasinya bagi demokrasi modern.
Apa itu Evolusi Teori Ruang Publik Habermas?
Perjalanan pemikiran Habermas tentang ruang publik dapat dipetakan melalui beberapa model yang saling berkaitan, mencerminkan perubahan perspektifnya seiring waktu. Â Awalnya, Habermas menggambarkan ruang publik ideal sebagai ruang publik liberal (Habermas, 1989, bagian pertama). Â Model ini menekankan pada komunikasi bebas dan rasional antar warga negara yang setara, di mana opini publik terbentuk melalui pertukaran argumen dan alasan. Â
Ruang publik ini dibayangkan sebagai arena di mana warga negara dapat berdebat tentang isu-isu publik tanpa tekanan atau pengaruh dari kekuatan yang dominan, membentuk opini publik yang mencerminkan kepentingan bersama.
Namun, Habermas kemudian merevisi pandangannya, mengakui bahwa ruang publik liberal merupakan idealisasi yang sulit dicapai dalam praktik. Â Ia mengidentifikasi adanya ruang publik yang sarat kekuasaan (Habermas, 1989, bagian kedua; 2006), di mana ketidaksetaraan kekuasaan dan pengaruh secara signifikan membatasi komunikasi bebas dan rasional.Â
 Faktor-faktor seperti pengaruh media massa, kekuatan ekonomi, dan dominasi politik dapat mendistorsi proses pembentukan opini publik, menghasilkan opini publik yang tidak selalu merepresentasikan kepentingan bersama.
Sebagai respons terhadap keterbatasan model liberal, Habermas mengembangkan paradigma ruang publik Habermasian (Habermas, 1989b). Â Paradigma ini menekankan pentingnya rasionalitas komunikatif dan deliberasi dalam pembentukan opini publik. Â Ia menggeser fokus dari struktur formal ruang publik ke proses komunikasi yang terjadi di dalamnya. Â
Rasionalitas komunikatif, yang didasarkan pada argumen dan alasan yang rasional, menjadi kunci untuk mencapai kesepahaman dan legitimasi keputusan politik.
Puncak dari evolusi pemikiran Habermas adalah model demokrasi deliberatif (Habermas, 1996). Â Model ini menekankan pada peran deliberasi publik dalam pengambilan keputusan politik. Â Demokrasi deliberatif tidak hanya bergantung pada pemungutan suara atau representasi, tetapi juga pada proses dialog dan deliberasi yang inklusif, di mana warga negara dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembentukan kebijakan. Â
Proses deliberasi ini bertujuan untuk mencapai konsensus yang didasarkan pada argumen dan alasan yang rasional, bukan pada kepentingan pribadi atau kekuatan.