Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (tauhid) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita abdi kecuali Allah dan tidak ada yang kita persekutukan dengan Dia dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri, tunduk patuh (kepada Allah)".(Ali 'Imran 64).
Para Rasul Allah senantiasa mengajak ummatnya dan kaum  agama lainnya untuk berdialog dalam mewartakan wahyu-Nya.  Kitab  Injil, misalnya,  banyak  mengisahkan  bagaimana  Yesus (Nabi Isa)  sering berdialog  tentang  berbagai  hal  dengan  murid-muridnya, kaum Yahudi,  murid-murid Yohanes Pembaptis, dan para imam  kepala  dari  kaum  Saduki  dan  Farisi.
Al-quran  menempatkan  kaum Yahudi  dan  Nasrani  sebagai  Ahli  Kitab  yang  harus dihormati  dan  selalu mengajak  mereka berdialog dengan cara yang terbaik. Tetapi, sepanjang perjalanan sejarah, hubungan yang baik itu kerap kali telah menjadi sumber berbagai kesalah pahaman, kebencian dan sengketa teologis. Hubungan keagamaan mereka telah dibentengi oleh teologi kebencian yang diperparah dengan dukungan tafsir-tafsir "provokatif' dari masing-masing  ulama, imam,  atau juru  agama.
Ketiga agama Abrahamik menampilkan  diri  sebagai  wahyu terakhir  dari  Tuhan  (YHWH;  God;  Allah);  dan  olehnya itu  adalah  kewajiban  mereka  untuk  mengajak  orang  lain untuk  mengikuti  agamanya.
Anton Wessels dalam rangka trialog kitab suci ketiga agama tersebut memakai tema dua kota (Babel versus Yerusalem dan Mekkah versus Madinah). Hans Kng melihat kemungkinan Kubah Batu (Kubah Shakrah) sebagai tempat berdoa ketiga agama tersebut dan menggagas sebuah doa ekumenis, sebagai tanda kesatuan ekumenis-abrahamik.
Lebih lanjut berdasarkan banyak kesamaan di antara ketiga agama tersebut, Kng yakin Abraham bisa menjadi "titik berangkat sangat realistis" untuk proyek ekumenis-abrahamik, bahkan untuk sebuah gerakan monoteisme global.
Abraham dicitrakan mengalami yahudisasi, kristenisasi, dan islamisasi. Hasilnya adalah Abraham digambarkan beragama Yahudi, beragama Kristen dan beragama Islam. Abraham yang diimani berbeda-beda, bahkan abraham- abraham  itu  bersaing  satu  sama  lain. Namun jika kita telaah yang digambarkan Alquran berbeda dengan yang distigmakan, (Ibrahim (Abraham) bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, (Ali-Imran 67).
Akar Historis Genealogis
Nabi Musa, Isa dan Muhammad merupakan anak-keturunan darah dan daging sekaligus keturunan (Ruh Spritual) Abraham dari dua putranya Ishaq (Sarah) dan Isma'il (Hajar). Dalam bahasa Thabathaba'i, anak-keturunan itu disebut dengan "keluarga lbrahim" (Ahli Ibrahim). Abraham dinyatakan sebagai muara monotheisme yang menjadi model bagi nabi-nabi berikutnya.
Secara genealogis-spiritual, pengurapan Abraham kepada Ishak yang menjadikannya pewaris perjanjian tidak bisa menafikan eksistensi Ismail sebagai putra sulung Abraham, yang juga dinubuatkan Allah akan menjadi bangsa yang besar melalui keturunannya. Itu berarti eksklusifitas perjanjian Allah tidak hanya diwariskan Abraham kepada Ishak, tetapi juga kepada Ismail, meski giliran awal kekuasaan diberikan kepada Bani Israel.
Bukankah Ismail adalah putra sulung Abraham (lebih tua 14 tahun dari Ishak), sehingga kewajiban mendidik anak sesuai tuntunan Allah sudah pasti dilakukan Abraham terhadap Ismail. Selain itu, nabi-nabi Allah banyak berasal dari generasi diluar Bani Israel, seperti Nabi Ayub, Hud, Shalih, Syuaib, dan Muhammad. Meski demikian, sudah menjadi keputusan (qadha) Allah bahwa keturunan Ishak-lah yang akan menggenapi ''Tanah Perjanjian'' Yerusalem (negeri yang damai sejahtera).