Dalam gemuruh pagi yang masih terasa dingin, sebuah panggilan bermakna mengalun. Subuh telah memanggil, dan seorang ayah, dengan lembutnya, mempersembahkan pertanyaan yang tak terduga kepada anaknya yang baru saja memasuki masa remaja. Dialog simpel itu pun memunculkan keingintahuan yang menggelisahkan, menciptakan sebuah perjalanan spiritual yang tak terduga untuk si anak, yang kemudian dikenal sebagai Beddu Rahing.
Ayah : Nak, tahu nggak kamu, Tuhan ada dimana?
Anak : Tuhan ada di surga!
Ayah : Oh gitu... lalu di luar surga nggak ada Tuhan?
Anak : hmm...Ya, ada di langit kali, Abah.
Ayah : Kalau Tuhan adanya di langit, berarti Dia nggak ada di bumiÂ
      dong. Jadi jauh banget Tuhan dari kita ya???
Anak : Ya, nggak juga, Abah... Jadi Tuhan ada di mana, dong Abah? Â Â
      (tanyanya sembari menekuk muka seraya setengah putus asa).
Pertanyaan ini menggelayuti pikiran Beddu Rahing hingga dewasa. Ia mencari tahu di mana Tuhan berada. Dia berdiam sejenak. Lantas dia menjawab sejujurnya, bahwa kadang ia 'merasa' jauh dengan Tuhan. Di lain waktu, perasaan berbeda pun muncul, seakan-akan Tuhan berada teramat dekat.
"Ketika Dia terasa jauh, hati saya kosong dan gelisah. Tapi, sewaktu dekat, saya merasakan ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian yang sulit digambarkan,'' jelasnya.
Selanjunya, Beddu Rahing, memaparkan, pengalamannya. Ketika merasa jauh, persoalan datang silih berganti. Sebaliknya, ketika dekat, semua persoalan hidup seolah lenyap ditelan terang-benderangnya cahaya kehidupan.
Ketika merasa jauh, pikiran aku bete dan sumpek, tidak jernih dalam memandang berbagai persoalan. Tapi di saat merasa dekat, semua menjadi sangat-sangat mudah dan gamblang untuk membuat keputusan-keputusan.
"Saat jauh, aku merasakan serba sulit dan jadi pemarah, Namun ketika kehadiranNYa terasa dekat, kita menjadi sabar dan penuh keikhlasan," pungkasnya.Â
Kenapa ada perasaan dan kondisi demikian? Dan kenapa ini terkait dengan 'rasa dekat' dan 'rasa jauh' terhadap Tuhan?
Perasaan dekat dan jauh terhadap Tuhan itu dialami oleh jiwa kita. Bukan oleh badan  dan ruh kita. Sebab badan adalah benda mati yang tidak memiliki 'rasa'. Ia hanya merupakan 'media' bagi jiwa untuk memperoleh berbagai rasa itu. Ketika badan harus berdiri sendiri - terpisah dari jiwa - maka ia tidak bisa merasakan apapun.
Sementara itu, ruh adalah potensi sifat-sifat Ketuhanan yang ditularkan Tuhan kepada badan. Karena kemasukan ruh itulah maka badan menjadi hidup dengan segala derivatif sifat-siafat Tuhan. Dan dengan kemasukan ruh, badan memiliki sisi batiniah yang bersifat energial yang disebut jiwa. Dengan jiwalah bisa merasakan kedekatan atau kejauhan diri ini dengan Tuhannya.
Jadi, jauh dektanya seseorang dengan Tuhannya lebih bermakna batiniah. Bukan badan, tapi jiwa. Bukan kuantitatif, melainkan kualitatif.
Secara kuantitatif, manusia tidak bisa jauh dari Tuhan. Karena DIa memang lebih dekat daripada urat leher. Dia meliputi kita. Karena itu, penggambaran dekat itu lebih disimbolkna  secara fisikal: urat leher. Karena memang Tuhan hadir dala setiap sel-sel tubuh kita. Termasuk sel-sel urat leher itu sendiri. Bahkan lebih halus lagi, karena Tuhan juga hadir dala molekul-molekul, atom-atom, dan partikel-pertikel penyusunnya. Tidak ada penggambaran yang lebih dekat daripada itu.
Tapi secara kualitatif, kedekatan dengan Tuhan itu bisa agak 'renggang' atau sebaliknya. Kedekatan itu lebih menggambarkan betapa kualitas kita sebagai manusia mengalami pasang surut. Itu adalah gambaran jiwa: semakin bersih atau kian kotor.
Jiwa yang bersih bakal memancarkan sifat-sifat Ketuhanan dalam diri kita, menjadi semakin benderang. Orang-orang yang membersihkan jiwanya pasti akan memancarkan sifat-sifat penyanyang, pemurah, adil, jujur, pemaaf, sabar, ikhlas, dan seterusnya, yang menggambarkan sifat-sifat Asma'ul husna.
Semakin bersih jiwanya, semakin terpancarlah sifat-sifat itu dari dalam dirinya. Nah orang macam inilah yang dikatakan 'dekat' kepada Tuhannya. Kenapa? karena kualitas sifat-sifatnya mendekatai sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat kemanusiaannya yang egoistik memudar. Yang berpendar adalah sifat-sifat Ketuhanan yang universal.
"Menebarkan kasih sayang untuk seluruh alam sekitarnya, itulah sifat sesunguhnya sebagai rahmatan lil 'alaamiin...," jelas Beddu Rahing
Penutup
Dalam perjalanan hidupnya, Beddu Rahing menemukan jawaban yang tidak hanya menyentuh dirinya secara pribadi, tetapi juga merangkul kebenaran yang lebih luas. Dari perasaan jauh dan dekat dengan Tuhan, ia menemukan cerminan jiwa yang bersih atau tercemar, yang pada akhirnya menentukan kedekatan batiniah dengan Sang Pencipta. Dalam pancaran kasih dan pemahaman yang semakin dalam, ia membuktikan bahwa hubungan dengan Tuhan adalah cerminan dari kebersihan dan kedalaman jiwa seseorang.
***Substansi cerita ini dinukilkan dari buku Agus Mustofa bertajuk 'Bersatu Dengan Allah'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H