Selanjunya, Beddu Rahing, memaparkan, pengalamannya. Ketika merasa jauh, persoalan datang silih berganti. Sebaliknya, ketika dekat, semua persoalan hidup seolah lenyap ditelan terang-benderangnya cahaya kehidupan.
Ketika merasa jauh, pikiran aku bete dan sumpek, tidak jernih dalam memandang berbagai persoalan. Tapi di saat merasa dekat, semua menjadi sangat-sangat mudah dan gamblang untuk membuat keputusan-keputusan.
"Saat jauh, aku merasakan serba sulit dan jadi pemarah, Namun ketika kehadiranNYa terasa dekat, kita menjadi sabar dan penuh keikhlasan," pungkasnya.Â
Kenapa ada perasaan dan kondisi demikian? Dan kenapa ini terkait dengan 'rasa dekat' dan 'rasa jauh' terhadap Tuhan?
Perasaan dekat dan jauh terhadap Tuhan itu dialami oleh jiwa kita. Bukan oleh badan  dan ruh kita. Sebab badan adalah benda mati yang tidak memiliki 'rasa'. Ia hanya merupakan 'media' bagi jiwa untuk memperoleh berbagai rasa itu. Ketika badan harus berdiri sendiri - terpisah dari jiwa - maka ia tidak bisa merasakan apapun.
Sementara itu, ruh adalah potensi sifat-sifat Ketuhanan yang ditularkan Tuhan kepada badan. Karena kemasukan ruh itulah maka badan menjadi hidup dengan segala derivatif sifat-siafat Tuhan. Dan dengan kemasukan ruh, badan memiliki sisi batiniah yang bersifat energial yang disebut jiwa. Dengan jiwalah bisa merasakan kedekatan atau kejauhan diri ini dengan Tuhannya.
Jadi, jauh dektanya seseorang dengan Tuhannya lebih bermakna batiniah. Bukan badan, tapi jiwa. Bukan kuantitatif, melainkan kualitatif.
Secara kuantitatif, manusia tidak bisa jauh dari Tuhan. Karena DIa memang lebih dekat daripada urat leher. Dia meliputi kita. Karena itu, penggambaran dekat itu lebih disimbolkna  secara fisikal: urat leher. Karena memang Tuhan hadir dala setiap sel-sel tubuh kita. Termasuk sel-sel urat leher itu sendiri. Bahkan lebih halus lagi, karena Tuhan juga hadir dala molekul-molekul, atom-atom, dan partikel-pertikel penyusunnya. Tidak ada penggambaran yang lebih dekat daripada itu.
Tapi secara kualitatif, kedekatan dengan Tuhan itu bisa agak 'renggang' atau sebaliknya. Kedekatan itu lebih menggambarkan betapa kualitas kita sebagai manusia mengalami pasang surut. Itu adalah gambaran jiwa: semakin bersih atau kian kotor.
Jiwa yang bersih bakal memancarkan sifat-sifat Ketuhanan dalam diri kita, menjadi semakin benderang. Orang-orang yang membersihkan jiwanya pasti akan memancarkan sifat-sifat penyanyang, pemurah, adil, jujur, pemaaf, sabar, ikhlas, dan seterusnya, yang menggambarkan sifat-sifat Asma'ul husna.
Semakin bersih jiwanya, semakin terpancarlah sifat-sifat itu dari dalam dirinya. Nah orang macam inilah yang dikatakan 'dekat' kepada Tuhannya. Kenapa? karena kualitas sifat-sifatnya mendekatai sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat kemanusiaannya yang egoistik memudar. Yang berpendar adalah sifat-sifat Ketuhanan yang universal.