Pernah dengar "No Rocky, No Party"? Kalimat itu jadi tren saat menggambarkan Rocky Gerung di panggung. Dosen filsafat dari Universitas Indonesia ini dikenal suka mengajak orang menggunakan akal sehat.
Ide memajukan akal sehat bukanlah sesuatu yang baru. Seorang pemikir Islam, Jalaluddin Al-Afghani, juga pernah menyerukan hal serupa untuk menghadapi tantangan di masa lalu.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak negara di dunia ketiga yang masih terjajah oleh Eropa. Kolonisasi membawa sekularisasi, yang dianggap mengancam nilai-nilai keagamaan. Persis sebagaimana yang disebutkan Harvey Cox dalam bukunya yang bertajuk The Secular City, bahwa sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari 'dunia lain' menuju dunia kini.Â
Di tengah situasi seperti itu, muncul Jalaluddin Al-Afghani dengan gerakan Pan Islamisme. Dia ingin menyatukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Menurutnya, persatuan adalah kunci kemajuan umat Islam.
Pan Islamisme bukan berarti menghapus batas-batas antara negara Islam, melainkan tentang memiliki pandangan yang sama dan bekerja sama erat. Persatuan Islam hanya dapat dicapai bila mereka berada dalam kesatuan pandangan dan kembali kepada ajaran Islam yang murni, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.Â
Al-Afghani bergerak dari satu negara ke negara lain, mulai dari Afghanistan, India, Turki, dan terakhir Mesir. Lelaki kelahiran Kabul, Afghanistan tahun 1838 ini menyebarkan pesannya tentang persatuan melawan kolonialisasi.Â
Dia tidak hanya berjuang untuk pembebasan fisik, tapi juga pembebasan pikiran. Al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh, menekankan pentingnya mengembalikan kejayaan Islam dengan cara yang lebih adaptif terhadap zaman baru. Mereka berusaha memadukan ajaran Islam dengan pengetahuan dan nilai-nilai baru yang diperkenalkan oleh Barat, sambil tetap mempertahankan esensi agama Islam.Â
Keduanya termasuk dalam kelompok revivalisme modern dalam sejarah pemikiran Islam. Mereka mendorong penggunaan akal sehat dalam menyikapi berbagai persoalan. Bagi mereka, akal sehat adalah kunci peradaban. Akal yang terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memperoleh jalan yang membawa kemajuan. Pemikiran  akal menimbulkan Ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan modern yang banyak berdasarkan hukum alam (sunnatullah) selaras dengan Islam yang sebenarnya. Hukum alam adalah ciptaan Tuhan, dan wahyu juga berasal dari Allah SWT. Karena keduanya berasal dari Tuhan, maka akal dan wahyu itu selaras. Islam mesti sesuai dengan imu pengetahuan modern, dan sebaliknya ilmu pengetahuan modern sesuai dengan Islam.
Maka sudah sepantasnya Islam mendorong umatnya tidak boleh terkungkung pada paham jumud, yaitu sikap atau perilaku yang kaku, terbelenggu pada tradisi tanpa berusaha untuk beradaptasi atau berubah mengikuti perubahan zaman. Â Umat Islam juga mesti menjauhkan mentalitas taklid, yakni meniru ajaran atau praktek seseorang tanpa mempertanyakan atau memahami alasan di baliknya. Karena, jumud dan taklid menjadi biang kerok kemunduran umat.Â
Upaya memajukan umat ini hanya berhasil jika umat Islam sendiri mau membuka pintu ijtihad, khususnya pada masalah-masalah muamalah. Hukum-hukum kemasyarakatan inilah yang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Adapun soal ibadah, Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, tidak menginginkan penyesuaian dengan perkembangan zaman. Karena itu, kata Abduh, ibadat bukanlah lapangan ijtihad untuk zaman modern ini.