Kisah Kehadiran Burung Garuda Indonesia
Persis 74 tahun silam, pada tanggal 11 Februari, menjadi momen bersejarah bagi bangsa kita. Saat itu, secara resmi, Indonesia mengukuhkan lambang negaranya: burung Garuda, sebagai ikatan batin bagi seluruh anak bangsa, lengkap dengan semboyan yang membanggakan: Bhinneka Tunggal Ika.
Namun, perjalanan menuju kehadiran burung Garuda sebagai lambang negara Indonesia tidaklah mudah. Ide ini melalui proses panjang yang membutuhkan pemikiran dan waktu yang tidak sedikit
Gagasan pentingnya sebuah lambang negara lahir dari buah pikir seorang Parada Harahap. Lelaki kelahiran 15 Desember 1899 asal Pargarutan, Tapanuli Selatan, ini menyampaikan idenya dalam rapat besar Panitia Perancang Undang-Undang Dasar pada 13 Juli 1945. Jurnalis yang aktif di Pewarta Deli (Medan) dan Benih Merdeka (Sibolga) mengusulkan, selain bendera, perlu juga bangsa ini menentukan lambang negara (wapen). Usul ini mendapat respon positif dari segenap anggota panitia meski dengan satu catatan. Yaitu, perkara lambang negara akan dimuat dalam Undang-Undang IstimewaÂ
Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pemerintah yang baru terbentuk menindaklanjuti usulan lambang negara tersebut. Dibentuklah Panitia Indonesia Raya yang bertugas untuk meneliti pola dan lambang dalam peradaban bangsa Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara didapuk sebagai Ketua Panitia, dan Muhammad Yamin dipercayakan sebagai Sekretaris Panitia. Mereka menelusuri situs-situs purbakala dan mempelajari kesusastraan kuno di beberapa wilayah Indonesia. Keduanya menemukan burung garuda yang di dalam berbagai mitologi disebut sebagai burung penjaga negara.
Namun situasi politik di awal kemerdekaan masih gonjang-ganjing. Situasi ini memaksa panitia  menghentikan pekerjaannya selama 2 tahun. Pada 1947, upaya ini kembali bergulir setelah pemerintah mengundang para seniman untuk mengikuti sayembara pembuatan lambang negara. Hasilnya, ada empat gambar usulan yang masuk, yaitu: bintang delapan, banteng, sinar matahari, dan burung elang.
Tapi lagi-lagi kondisi negara belum juga stabil. Belanda melakukan agresi militer I dan II. Akibatnya proses penetapan lambang negara kembali terbengkalai.
Baru pada 1950 selepas pengakuan kedaulatan dan pembentukan kabinet pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), ikhtiar pencarian lambang negara dilanjutkan. Pada rapat kabinet RIS 10 Januari 1950, dibentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara, dan koordinator panitia Menteri Negara Zonder Porto Folio, Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie atau yang lebih populer disapa Sultan Hamid II.
Demi mengemban tugas ini, Sultan ketujuh kesultanan Qadriah Pontianak ini pergi menemui Ki Hajar Dewantara dan Mr. Muhammad Yamin. Lalu Diplomat ulung dari Kalimantan Barat ini menunjuk Muhammad Yamin  sebagai ketua kepanitiaan. Panitia ini diperkuat beberapa anggota, yaitu: Ki Hajar Dewantara, M.A. Pelaupessy, Mohammad Natsir, dan Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka. Panitia bertugas menyeleksi/menilai usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Setelah bekerja keras, panitia akhirnya mendapatkan 2 gambar pilihan, yakni masing-masing karya Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin. Â Kedua rancangan gambar itu kemudian diserahkan ke Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta. Kemudian oleh Hatta kedua gambar tersebut dibawanya ke sidang kabinet untuk dipilih salah satunya.