Mohon tunggu...
Andi Wieke Berlian Cannavera
Andi Wieke Berlian Cannavera Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Memiliki kepribadian ENFJ

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Budaya Patriarki di Film "Yuni"

3 Juni 2022   12:30 Diperbarui: 3 Juni 2022   12:32 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Film Yuni- merupakan film lokal karya anak bangsa yang berhasil menyabet penghargaan di Palm Spring International Film Festival 2022. Film Yuni mengisahkan seorang siswi SMA bernama Yuni yang hidup di perkampungan dan satu atap dengan sang nenek, dikarenakan orang tua dari Yuni berkerja di luar kota. 

Yuni merupakan siswi berprestasi di sekolahnya dan saat ini menempuh kelas 3 SMA. Yuni berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya yaitu dengan berkuliah. Namun, hal ini sia-sia karena keluarga Yuni menginginkan dia untuk segera menikah setelah lulus nanti. Yuni resah atas keinginan keluarganya yang sangat bertolak belakang dengan keinginannya sendiri.

Di masa-masa akan lulus SMA, ada dua orang laki-laki yang telah melamarnya. Namun, Yuni menolaknya dan tersebarlah rumor-rumor kurang menyenangkan yang ditujukan kepada Yuni. 

Pada film ini, ada pamali yaitu ketika perempuan menolak lamaran laki-laki sebanyak dua kali, maka perempuan yang menolaknya akan kesusahan dalam mendapatkan jodoh. Yuni semakin bingung ingin mencapai keinginannya ataukah harus mencapai keinginan keluarganya.

Cerita yang divisualisasikan dalam Film Yuni ini, tampaknya kita dapat mengambil sebuah momen dimana budaya patriarki masih merajalela di negara kita, dan biasanya itu terjadi di wilayah-wilayah yang kurang menguasai dalam hal pengetahuan dan pola pikir. 

Latar tempat dari film Yuni yaitu di perkampungan. Tempat ini terasa amat nyata dalam mengangkat budaya patriarki tersebut. Bagaimana tidak, kebanyakan wilayah yang masih menganut budaya ini itu berada di perkampungan yang masih minim pengetahuan dan pola pikir yang masih ketat dalam tradisi terdahulu, berbeda jauh dengan di perkotaan yang pola pikirnya sudah lebih maju.

Bahwa perempuan tidak perlu untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi daripada laki-laki, adapun ketika perempuan tidak memiliki hak penuh dalam menentukan pilihannya sendiri. Bahwa perempuan hanya akan "Masak, Macak, Manak", yang berarti hanya dapat masak, dandan, dan juga melahirkan. 

Budaya ini sepertinya sudah menjadi turun-temurun di negara kita, sehingga kita sebagai perempuan rasanya masih segan untuk menemukan jati diri kita yang sesungguhnya. 

Dari film ini, dapat dikatakan bahwasannya bukan saatnya perempuan selalu dijadikan bawahan seorang laki-laki. Perempuan berhak untuk hidup layaknya manusia biasa, seperti yang dilakukan oleh laki-laki. Perempuan punya hak untuk menentukan hidupnya sendiri. Kita sebagai perempuan harus merdeka.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun