Takdir yang Menyuruh Kita Mondar-Mandir
Sehabis hujan lebat
kening batu-batu licin berkeringat.
Di sebelah sana, aku melihatmu
terjatuh
parah sekali menghidu.
"Astaga, lututmu!"
Kita yang telah lama bertahan
selama ini,
berdiri seperti tak cukup melawan sendiri
ditopang angin-angin gerigit
untuk terjatuh dan berlutut pada rasa sakit.
Jangan menangis!
Kataku mendekatimu.
Kau pun menangis.
Disela-sela isakmu
kaumenyuruhku meniupkan lukamu.
Laksana anak kecil.
sementara aku berpikir,
apakah kau akan runtuh
seketika
seperti bangunan pasir?
Hidup sudah tak lagi mesra, Â
katamu. kauberkata,
barangkali kita adalah
hidup adalah
laku Maringgih
yang sesial-sialnya
pengantin,
dan Siti Nurbaya
yang sejak mula tak pernah
benar-benar mencintai kita?
Benarkah?
Aku bertanya-tanya.
Mungkin juga tidak.
Sebab, aku ingin percaya
jika boleh memilih, kukira
aku lebih suka
menjadi tetangga Maringgih saja
yang menjadi saksi mata
menyaksikan takdir bekerja,
sebelum moksa
sebelum mereka
mondar-mandir menyuruh kita.
Jangan menangis...
__
Begini Saja Kita Begitu Parah
Menuju hilir perahu origami kecil berlayar mempelajari alam sekitar.
Kita begini saja. Ada dan mengada-ada. Aku tahu kautahu kita sama-sama tahu menyembah Waktu, yang kini menjadikannya berhala untuk keyakinan bersandar dua luka kita yang penyabar.