Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tuah

10 April 2015   22:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:16 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14286796611567556352

[caption id="attachment_377845" align="aligncenter" width="300" caption="gambarwallpaper.fondecranhd.net/a-new-day-3/"][/caption]

Ini seperti cerita-cerita yang sudah kau duga. Datang entah dari mana, pergi entah mau kemana. Hingga pada siang yang terik, sinar matahari panasnya meleleh seperti eskrim, Ia lelah dan singgah. Mungkin sementara waktu atau menetap selamanya. Ia duduk di bawah pohon mangga yang besar bersemedi menyilakan kedua kakinya seperti orang pintar mengucapkan mantra. Tapi saya mengira ia sedang wirid-an dan nampak sangat khusyu'. Kalau kau datang ke tempat kami kau tak perlu heran. Karena ia berpenampilan seperti orang biasa saja, bedanya ia tidak bekerja, tidak punya anak, tidak punya istri--barangkali mereka sudah pergi. Ia akan duduk di bawah pohon mangga seharian dan sesekali akan bangit ketika waktu sholat tiba, untuk menunaikan kewajibannya. Ia akan makan apa saja yang orang lain berikan, ia tidak meminta pada mereka, tapi Tuhan tahu apa yang umat butuhkan. Jika dalam sehari atau dua hari tetangga tidak ada yang memberinya makan, ia akan puasa sampai Tuhan mengijinkannya makan. Mungkin hanya itu yang bisa diyakini orang gila seperti dirinya. Kadang saya berpikir, itu hanya semacam keputusasaan. Kadang....

Saya sering kali menyelidikinya dari jauh, menyibukan pikiran memikirkan apa yang orang gila pikirkan siang-siang begini, mengapa ia begitu sibuk dengan komat-kamit mulutnya. Apa yang diucapkan? Jika kau penasaran, maka saya lebih penasaran karena mulutnya terus saja membuat saya ingin mendekatinya. Tapi tidak. Saya terlampau takut, dan trauma pada kejadian lima tahun lalu, ketika saya bertemu orang gila seperti dirinya yang ber-musafir ria kemana-kemana. Dan singgah di tanah lapang tempat saya dan teman-teman bermain bola. Saya mendekatinya lalu bertanya, "Bapak kenapa gila?" tak butuh waktu lama, potongan kayu melayang ke udara dengan kecepatan cahaya. Saya tak sempat mengelak--tangan kanannya terlampau cepat. Saya sepoyongan, kepala saya berat dan saya pingsan. Sejak kejadian itu saya berjanji tidak akan menanyakan hal yang sama kepada orang gila.

Tapi untuk kali ini sifat manusiawi saya seperti diuji. Siang makin gerah, seakan matahari marah-marah, tapi lelaki itu tetap tabah, sabarnya sama sekali tak melepuh. Sekawanan anak muda sengaja meledek lelaki itu, ia ditelanjangi kemudian tubuhnya diikat dengan pohon mangga menggunakan tali rafiah, lalu melemparinya dengan batu-batu sekitar. Mereka gila. Kopi saya belum tandas, tapi emosi saya makin bergegas. Saya berlari meninggalkan warung kopi yang tak jauh dari seberang lelaki itu dianiyaya.

"Bodoh, apa yang kalian lakukan?"

Mereka hanya diam, lalu melempar kami. Emosi saya makin memikat untuk memukuli mereka semua. Dan tak segan mengajaknya berkelahi secara lelaki sejati--tentunya satu lawan satu. Untung mereka langsung pergi. Saya pandang mata lelaki itu lamat-lamat. Ia tetap tenang, tenang sekali seperti batu, seakan semuanya baik-baik saja. Saya lepaskan ikatan tali lelaki itu, dan membantunya mengenakan pakaian yang sempat tertanggalkan. Orang gila itu duduk lagi, bersimpuh dan berdoa tanpa sepatah kata pun ucapan terimakasih kepada saya. Mungkin ia hanya menganggap saya sebagai pahlawan kesiangan.

Ia tetap tenang, tenang tak seperti orang gila kebanyakan--yang melempar kayu sampai saya pingsan. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan keberanian mendekatinya lagi, lebih dekat dan barangkali saya mau ralat soal janji atau sementara waktu libur dulu untuk berjanji. Saya duduk berhadapan dengan lelaki itu, bersimpuh tapi tidak berdoa. Karena saya yakin orang gila ini jinak.

"Bapak, sudah makan?" tanya saya pelan. Mulutnya masih komat-kamit, matanya terpejam. Saya coba ulangi pertanyaan saya, mungkin ia sedang 'puasa bisu' --tak dianjunkan berbicara kepada siapapun kecuali Tuhan. Tapi, saya tetap bersikekeh bertanya, "Bapak gila, sudah makan belum?" kata saya dengan nada agak tinggi. Lelaki itu membuka kelopak matanya, lalu menatap saya dengan pandangan teduh tapi ia tak berkata apa-apa.

Saya kembali bertanya, "Bapak gila, kenapa bisa gila?"

Tiba-tiba matanya berubah merah saga, menatap tajam. Saya blingsutan, dan saya ingin lari tapi tidak bisa, tatapan matanya sudah menotok saraf-saraf saya hingga tak bisa bergerak. Dari mulutnya, mengeluarkan tuah, "Kau yang gila!"

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun