Rindu deman semingguan ini. Ia sakit. Tadi pagi saat ia beranjak ke kamar mandi ia terjatuh dan terpingsan lagi. Saya yang ketika itu sedang duduk-ngopi-baca buku, mau tak mau harus menggotongnya sendiri untuk kembali ke tempat tidur.Â
Tentu pekerjaan yang melelahkan sekaligus merepotkan mengingat Rindu itu sangat berat. Maafkan saya jika kalimatnya terdengar seperti mengeluh. Supaya kau tahu saja bahwa hidup serumah bersama Rindu yang sering sakit-sakitan begitu, percayalah, tak pernah mudah.
ㅤㅤ
Lima hari lalu memang, dan sore tadi saya membujuknya sekali lagi untuk pergi ke dokter. Ia malah menjawab enteng, menyatakan bahwa dirinya tak sedang merindukan seorang dokter.
ㅤㅤ
"Tapi kita harus tetap pergi ke sana!" Kata saya akhirnya, meninggikan nada dua oktaf.
ㅤㅤ
"Kenapa kau membentakku?"
ㅤㅤ
Saya jawab, "Saya tak bermaksud membentakmu. Tapi, bahkan saya peduli padamu." Padahal kalo ia sakit siapa yang repot.
ㅤㅤ
Sialnya, ia malah menangis. Ia menangis sampai tertidur. Saya tidur di sampingnya.
ㅤㅤ
Tengah malam, saya terbangun karena mendengar Rindu mengigau. Ia terus-menerus menyebut-nyebut namamu. Sungguh. Suhu badannya panas sekali. Bukan! Mungkin dingin. Saya bahkan tak bisa membedakan keduanya.Â
Buru-buru saya menutupi tubuh ringkihnya itu dengan selimut setebal takut, lalu pergi menuju dapur dan membutuh waktu 7 menit untuk kembali dan mengompres kepalanya--rencana saya. Tapi saat saya kembali malah tidak membawa apa-apa. Sementara yang saya dapatkan hanyalah sebuah pertanyaan: sebeginikah rasanya merindukan seseorang, sayang?Â
Saya memeluk Rindu erat-erat malam itu.
ㅤㅤ
Pada pagi hari yang gigil, saya terbangun lagi dengan tenaga seadanya dan susah payah merawat diri saya sendiri supaya tak kambuh setiap kali merindukanmu dan berusaha ingin sembuh.Â
(2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H