Puisi yang kutulis mungkin
tak pernah bisa memenjarankanmu
yang lincin
dan gingsul itu
dengan cara paling lelap
kubebaskan engkau
bagai suasana lain
yang terperangkap uap jendela
sedikit gerimis,
gerobak sayur langgananan ibu,
 dan asap raungan kendaraan
kubayangkan engkau lampu jalan
setangah mati
menunduki sisa-sisa
 bayang-bayangmu sendiri
menjelang pagi
aku mengaku sehelai daun yang
tumpah di antara kaki-kakimu yang
tak pernah menemukan titik balik itu.
lantas, engkau yang liberal
kubebaskan sekali
menyerap seluruh kenyal aku
bagai gombal membersihkan air
kencing, kemenakan yang baru
belajar sesuatu sederhana
yang siap pesingkan
dengan cara yang
paling tidak sederhana.
kini, berbahagialah
demi dirimu sendiri sebab
ada aku di sini
tentang seorang yang kaucintai
karena entah untuk apa
kau sendiri mencintainya
dengan sempat, hampir
tergesa-gesa, dia mungkin
akan datang sedikit terlambat.
Tapi berbahagialah
sebab kau masih
dan akan tetap seperti itu
sejak mula dilahirkan
untuk mengganti kata menunggu.
Omah Moco, 05 April 2017Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H