Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Bercakap-cakap Menunggu Kau ada Waktu

17 Desember 2016   01:04 Diperbarui: 18 Desember 2016   11:42 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: fb milik Kak Ken SChat Ney

Saya mengingat diri saya yang tak punya teman. Semut sangat kecil. Tapi temannya banyak. Tak punya teman seperti hari tanpa sapaan apa kabar --untuk memulai sebuah percakapan sebelum sama-sama, gotong-royong memanggul daun kering. 

Saya sering bercakap-cakap dengan diri sendiri. Dewasa ini, orang-orang bercakap-cakap seperti orang tua yang mudah tersinggung. Kucing, meskipun mereka liar dan menjalani hidup yang barbar, mereka penyabar superior. Mereka jarang bicara sesama kucing, mereka terlalu polos. Bahkan dalam hal merayu kucing tetangga itu, ah, Nizar Qabbani saja mereka tak kenal. 

Saya lupa kapan terakhir kali bercakap-cakap. Manusia cuma mengingat dirinya sebagai sumur sumber pelupa. Bercakap-cakap dengan manusia mengajari saya banyak hal agar saya terdidik sekaligus pintar membual. Iklan-iklan di televisi bercakap-cakap dengan gaya yang cenderung menakut-nakuti tentang bahaya penyakit jika tidak menerapkan diri hidup secara disiplin dan sebagai gantinya mereka mengajak saya supaya gosok gigi di malam hari. 

Buku-buku, cuma membujuk saya untuk tetap percaya pada kejadian tahayul, mengajari saya cara menanam kentang di planet mars, strategi pasar modern, dan atau mengajari saya tips-tips unik paling mudah menumbuhkan janggut tak lebih dari sepekan.  

Langit terhampar menuntun saya, menyediakan banyak sekali jalan, gang-gang sekaligus membiarkan saya tersesat sendirian seperti orang tolol. Bercakap-cakap dengan angin membuat saya gampang berubah-rubah seperti bungklon menyesuaikan diri. Informasi? Saya tak percaya fakta. Saya hanya percaya pada kenyataan. Dan kenyataannya saya tidak percaya pada siapa-siapa.

Sebuah pena mengabarkan pada saya bahwa tinta takdir telah kering. Mustahil membuat orang lain abadi sementara dirinya telah dilahirkan. Pengarang, maupun penyair, begitulah. Mereka tak lebih penyihir tua yang ingin diingat namanya. 

Sedangkan ngobrol denganmu, kapan ada waktu? Saya lelaki tak punya teman. Maukah kau memahamiku? 

(*) Buat Admin, makasih blaunya. Biru, maksud saya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun