Sebagai pengarang, tak ada kekasih lain yang saya setia-kan kecuali kamu dan buku. Mesti pada akhirnya, saya tahu, satu waktu kamu bisa saja berdusta. Dan hal terburuknya, saya akan banyak menuliskan kisah-kisah sedih. Perjuangan menyembuhkan luka supaya lekas pulih.
Tak ada pekerjaan yang menyenangkan barangkali selain menjadi pengarang. Selain membuat sejarah bagi dirinya sendiri, pengarang juga dilatih membohongi dirinya sendiri. Berbohong, kamu tahu, itu menyenangkan seperti menyesap kopi panas dari balik kaca jendela kamar saat hujan. Ketika orang-orang yang melintas, untuk sekedar basa-basi dengan berkata, “Melamun saja, Mas!” Padahal, ya, tentu saja, kita akan menjawab sesimpul senyum. Padahal tidak! Sebab yang terjadi, faktanya kita merindukan seseorang habis-habisan.
Tak adalah modal lebih yang dibutuhkan sebagai pengarang, selain mata dan ingatan. Mata di mana kamu, dulu, bercerita; tersenyum lucu, soal ide-ide gilamu. Menangis manja soal imajinasi gila, ketika saya pergi dan kamu pikir meninggalkamu untuk waktu yang cukup lama. Dan ingatan sebagai kamera perekam.
Satu waktu jika kamu jauh dari panca indera, saya masih bisa memutar bola mata saya. Menemukanmu dalam ingatan, memutar ulang film-film usang yang belum selesai dirampungkan. Atau telah rampung tapi masih saya ragukan akhir ceritanya. Saya memang tak mempercayai, kita telah berakhir, sampai saat ini.
Kepergianmu...
Saya ini pengarang! Yang hanya bisa menuliskan kisah-kisah sedih, mungkin hanya tidak berusaha terus-terusan bersedih. Entah sekuat apa saya memimpikanmu dan merindukanmu dalam cerita itu, tapi saya berharap: semoga hujan turun lebat dan tak lekas rampung, seperti airmata yang tak pernah habis ditampung.
___
Mangkok yang Menguap, 21 Dec 2015. | ilustrasi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI