Jalan ini kautembus
dengan wajah yang pergi
setelah berhasil menandaskan
segelas kopi
yang mengaku terlanjur hidup
dari kekurangan orang-orang kesepian
yang kelebihan dirinya sendiri,
Yang tak tahu cara menuntut balas
papan-papan iklan,
toko emas, dan penghulu yang
tak mau dibayar dengan setandan pisang
bohlam-bohlam-lampu-lampu,
suara kicrik cicak, betapa mereka
terang-terangan
selesai
membikin bayangan kekasih
sepanjang selamanya mereka sanggup
merangkaki dinding dingin
jantung abadi. Aduh.
Mendadak melengkung
Sesunyi cipak capung yang sedang mandiÂ
Andai saya bisa menebak
nol detik lebih lama
isi dadu yang dikocok
dalam tempurung kepala kita
Ingin sekali saya pertaruhkan
seluruh dari keyakinan yang telah
saya unduh, sejak bayi
untuk tidak menangis, seperti
dari keputusan ibu
menyapih anaknya itu.Â
Tapi. Gelas kopimu. Â
Adalah ampas yang gemetar
menjelma dasar tebing, tempat
lalat-lalat murung mengapung
berbaring
minta diselamatkan. Seperti jalan tembus
yang tidak menembus kemana-mana. Celaka! Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H