[caption id="attachment_373208" align="aligncenter" width="560" caption="bali.tribunnews.com"][/caption]
*
Kamu tahu, bagi sebagian orang hujan adalah ringkasan. Di mana kesedihan dan kebahagiaan seperti halaman usang, yang mencoba memaksa harus dibuka kembali. Entah yang timbul senyum kecil, atau tangis berakhir tragis.
Tidak. Tidak sampai di situ saja. Bagiku, hujan adalah simbol kejujuran, di mana kenangan tidak gampang dilupakan, namun sangat mudah lalulalang dalam ingatan.
Kepada halaman tersebut, dulu, kita mengakhiri percakapan. Barangkali hanya sebuah hal-hal kecil yang kita tertawakan. Kemudian cemburu tak bisa lagi selamatkan aku dan kamu --memilih kesepian, sebagai jalan mengurung kerinduan.
Hujan adalah ringkasan, pelukan dan ciuman yang kita lakukan tanpa ejaan. Sebab, kepadamu semua muasal nada seperti tak ada fungsinya.
Kita pernah sama-sama tahu, meraba rintik hujan sama sulitnya membalikkan keadaan. Hanya basah yang kita temukan dalam ingatan, dalam kenangan.
Ada kata sepakat ketika hujan minggat --aku dan kamu sudah tak lagi dekat. Namun kenangan tentangmu, seperti rintik itu, turun rapat tak berjarak. Tentangmu, adalah kuyup seperti pohon-pohon gigil yang saling memeluk.
Kamu tahu, kenangan seperti genangan air yang gagal merembes ke dalam tanah. Tidak sama suksesnya aku mengingat semua detail waktu yang telah kita sita, dan pelukan yang kamu lakukan tergesa-gesa,
"Pakai ini, kamu akan hangat sementara waktu."
"Terima kasih...," matamu meradang, seakan mengemis sebuah pelukan.