Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[FITO] Hari Sejati

25 Agustus 2016   22:23 Diperbarui: 25 Agustus 2016   22:38 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena pertemuan itu murah dan sejati. Nah, semoga selalu begitu. Selalu begini, dari dulu perpisahaan adalah perasaan angin yang tak pernah sanggup berterus terang, ingin, meniup kita, dua orang ke arah sepi dan kesepian.

Jejak-jejak sempurna yang dulu kita tinggalkan di geladak kapal, sisa-sisa napasmu yang tertinggal di simpul tali, pasir putih yang berangsur-angsur hilang, pudar bercampur aroma garam.

Saya kembali.

Saya kembali ke dermaga ini seperti keputusan koin yang jatuh cinta pada tanah setelah dilemparkan ke udara. Seperti usaha gravitasi hujan menarik orang-orang pada kenangan di masa lampau. Kenangan-kenangan yang tak terjangkau.

Usah khawatir sebenarnya saya tidak sedang bersedih. Sebenarnya saya tidak sedang berbahagia, kau tahu kenapa? Karena keduanya, saya rasa, kau ingat, kakek tua penjual jagung bakar pojokan dermaga ini yang suka berfilsafat dan memainkan harmonikanya? Yang seumur hidup berusaha mengiringi musik alam, gesekan angin, debur ombak? Apa kauingat? Tak apa jika kau lupa. Mari saya ingatkan...

Ia memulai ceritanya dengan pendapat bahwa penemuan manusia paling mutakhir dan menajubkan adalah perpisahan, dan dilanjutkan dengan cerita saat ia berusia 21 tahun dan usia kandungan istrinya yang baru 2 bulan. Ia selalu tidur larut malam untuk memikirkan nama untuk anaknya, karena sebagai calon ayah ia kepengin bisa memanggil anaknya suatu hari nanti ketika kelak ia lahir dan dapat berlari dan memanggilnya; mengajaknya bersembunyi dari tentara Belanda.

Saat Belanda dan tentaranya harus pulang dan menyerahkan kekuasaan mereka pada Jepang, 9 Maret 1942, ia ingat betul sore itu. Kapal besar itu, yang menggondol istrinya. Ia lari menuju dermaga ini setelah berhasil melepaskan ikatan tali dan ingin sekali bilang pada mereka bahwa ia belum sempat memberinya nama, tapi, ia hanya bisa berteriak-teriak memanggil istrinya.

Ia melanjutkan, "Tuhan tak membiarkan hambanya bahagia terus-menerus. Tapi saya juga tak bisa sedih terus menerus. Juminten adalah perkara yang barangkali membuat saya mengamati jagung di atas permukaan bara api. Bagian yang melengkapi hidup saya, adalah sikap panjang akal, kesedihan yang kekal, karena ke-esa-an kebahagiaan pernah di dalamnya."

Perpisahan adalah kapal yang telah menaikan jangkar, dan kita adalah orang-orang yang gagal membujuk agar tetap tinggal. 

Saya kembali ke dermaga ini, kadang-kadang saya kembali lagi hanya untuk menyaksikan, "Nah, hari berganti."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun