Sumber ilustrasi : pulpn.com
Setelah acara makan siang yang tidak pernah kami rencanakan. Aku tidur siang sebentar di bawah pohon kelapa yang tak jauh dari area sungai. Kemarin malam hari yang melelahkan. Tidur di atas pohon mengharuskan sebagian lain dari kesadaranmu untuk tetap terjaga atau kau akan terjatuh jika tak waspada. Mungkin ini menjelaskan mengapa Sloth, monyet pemalas yang memiliki tiga jari dan hidup di atas pohon, menghabiskan sebagian besar waktunya sekitar 15 jam sampai 20 jam untuk tidur. Dan itulah sebabnya aku kembali tidur. Aku tak tahu apa yang dilakukan Bumi ketika aku tidur.
Hanya sebentar, sebelum akhirnya manusia bertubuh gempal itu membangunkanku. Bumi membangunkanku dengan cara yang, entah dari mana ia mendapatkannya, mengisi celana dalamku dengan seekor belut kecil—yang kupikir adalah seekor ular.
Binatang melata yang hobi makan sambil tiduran itu ada di dalam celanaku. Aku dapat merasakannya, meskipun aku tak benar-benar yakin dapat merasakan kehadirannya. Di dalam celana dalamku ia menggeliatkan tubuh licinnya itu dengan heboh, seolah ia baru saja menemukan tempat yang lembab dan cocok untuk bercinta—jika ia adalah seekor belut betina genit dan berpikir bahwa penisku yang tertidur dan terkulai adalah seekor belut pejantan yang gagah. Ia tak sepenuhnya salah! Belut milikku memanglah gagah, namun ia sedang tidak ingin bercinta karena ia sedang tidur siang.
Maka aku berusaha merontokkan belut sialan itu setelah menyadari keberadaannya sungguh menganggu tidur siangku. Bumi yang duduk setia di bawah pohon kelapa, menunggu reaksiku terbangun dari tidur, terpingkal-pingkal di ujung sana.
Aku terus bersijingkat ke sana ke mari, melompat, seperti kijang yang ekornya terbakar api dalam usaha kerasku membuka celana. Berhasil! Binatang melata yang kukira ular itu keluar dari dalam celanaku, yang kujatuhkan ke tepi sungai. Belut itu melata menuju permukaan sungai dan melata lagi dan menceburkan dirinya sendiri ke dasar sungai—mungkin ia merasa sangat kecewa karena cinta murninya ditolak oleh penisku. Sehingga ia memutuskan untuk bunuh diri. Binatang yang malang!
Lelaki bertubuh gempal di depanku suka bercanda memang, tapi cara bercandanya keterlaluan. Aku tak bisa membayangkan, jika belut betina kecil tadi—aku yakin ia betina karena menurut buku yang pernah kubaca, semua belut ketika lahir adalah betina, saat setelah mereka dewasa dan lingkungan sekitar akan mempengaruhi jenis kelamin mereka—mengigit penisku alih-alih mencium penjantannya. Rasanya pasti sakit! Membayangkan hal itu aku merasa perlu marah kepada Bumi.
“Itu sama sekali tak lucu!” Kataku kesal.
Seperlu-perlunya aku marah, Bumi tahu aku tidak akan benar-benar bisa marah. Sebab kemarahan hanya akan membuatmu nampak seperti orang tolol. Satu-satunya alasan yang barangkali pantas membuatmu marah adalah dilahirkan. Tapi dengan siapa kau akan marah? Ibumu? Ayahmu? Nenek dan Kakekmu yang telah melahirkan ayah dan ibumu? Adam dan Hawa yang telah tergoda bujukan iblis? Atau kau ingin marah dengan iblis? Iblis pun diciptakan oleh Tuhan? Jadi dalam kasus ini kau ingin marah dengan Tuhan?
Sebagian orang percaya adanya Tuhan dengan segala kekuasaan, yang dengan kekuasaan-Nya Ia dapat berkehendak bebas sesuai ingin-Nya. Sementara Ia besar sekali dan kau hanya mahluk kecil murung tak berdaya, seperti nyamuk, kukira. Dan sewaktu-waktu Ia murka, kau bisa saja ditepuk dan kau berdarah-darah dan kau... mati. Jangan tolol! Aku belum ingin mati.
Namun sebagian orang lainnya percaya bahwa Tuhan itu tidak ada. Jadi kau ingin marah pada Sesuatu yang tidak ada? Kuulangi... Jangan tolol!