Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kisah dan Caramu Pulang ke Dalam Cerita

10 Februari 2018   16:20 Diperbarui: 11 Februari 2018   20:15 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sampingku duduk seorang pengemis tua. Pengemis tua yang terlihat kikuk, yang ragu-ragu apa dia harus mengulurkan tangannya atau tidak.

Pengemis tua itu mengenakan pakai lusuh layaknya seorang pengemis. Rambut acak-acakan yang tergerai sebahu a la pengemis, dan mukanya sungguh menandai dirinya benar-benar pengemis.

Dia duduk di sebelahku, di persimpangan lampu merah di tepi trotoar yang terik dan berisik dan bersila di atas buku yang belakangan kutahu judulnya: Keseimbangan. Ketika hujan turun dan semua jalanan basah, dia mengangkat bokongnya. Menepi dari jalan raya ke bawah pohon teduh dan seperti seorang serius dia membaca buku itu sambil tertawa-tawa. Pengemis itu tertawa dan sesekali melirik ke arahku yang juga ikut berteduh di sampingnya. Seolah-seolah dia sedang menantangku, apakah aku bisa sebahagia ini?

Aku suka tertawa. Aku cuma tidak suka caranya tertawa yang jika menyempatkan diri selama sepuluh menit, mengingatkanku dengan Ayahku.

Ayahku orang idiot. Dia meninggalkan ibuku ketika ibuku sedang berusaha keras tumbuh sehat. Dan ayahku tak bisa menunggu lebih lama lagi karena dia juga punya urusan.

Dia meninggalkan ibuku di rumah dan menyelesaikan urusannya hingga berhari-hari tak pulang. Dua minggu setelah dia pergi, dia mengemasi barang-barangnya dan tak pernah kembali lagi. Keadaan ibuku semakin kurus. Dia mengigau habis-habisan tengah memanggil ayahku. Tapi dia tak ada.

Aku tahu ke mana ayahku pergi. Aku mendatangi rumah kecil yang halamannya tak terurus itu dan menggedor pintu dan kebetulan sekali, aku mendapati ayahku sedang telanjang dada. Aku menantangnya duel seperti sering kulakukan ketika aku kesal kalah berjudi.

Seorang perempuan tiba-tiba menghentikan kami. Aku pernah berkelahi dengan banyak orang. Aku pernah berkelahi dengan pohon, sayangnya ayahku makhluk tiga dimensi yang nyaris bergerak dengan kecepatan supranatural. Sebelum sempat memukul ujung hidungnya, dia sudah menanduk tempurung kepalaku. Aku tersungkur. Lalu dalam keremangan yang tak biasa kulihat seorang lelaki memukul-mukul tubuhku dengan gagang sapu. Sebuah ayunan kaki juga mendarat di keningku. Ah. Rasanya seperti menjadi anak kecil lagi.

Aku belum kalah. Maksudku, aku masih punya kesempatan untuk menyelamatkan diri. Dan ketika ayahku lelah memukulku, aku bangkit dan kabur darinya.

Aku berlari seperti anak bajing yang ketakutan. Cuma berlari dan berlari. Sampai disebuah tikungan, tiba-tiba sebuah sepeda motor pengangkut sayuran menabrakku. Begini, mungkin bisa jadi sebaliknya: aku yang menabrak sepeda motor itu. Aku terlempar jauh dari jalan raya. Kakiku mungkin patah. Kepalaku mungkin pecah. Tapi tak ada darah. Aku muntah beberapa kali namun tak ada yang bisa kukeluarkan.

Seorang laki-laki membuka kaca helmnya dan dia menyapaku apa aku baik-baik saja. Aku mengangguk mesti setengah mati ingin bilang tak ada orang baik-baik saja setelah menyaksikan orang tuanya idiot, dan kau mengajaknya berkelahi namun kau kalah dan kau berlari namun bukan menghindari maut kau justru mendekatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun