Aku dirubung banyak orang. Seperti bangkai yang dikelilingi lalat. Seekor lalat bilang padaku, apa aku butuh tumpangan ke rumah sakit. Aku menggeleng. Aku bangkit sekuat tenaga. Aku baik-baik saja begitu sugesti yang kutanamkan pada diri sendiri. Aku berjalan pincang menjauhi kerumunan lalat itu dan lalat itu membuka jalan.
Aku pulang. Aku membuka pintu gubuk tempatku tinggal, dan berdiri sekejap saja memandang ibuku yang juga sudah berdiri tak menapak tanah menyambutku pulang. Aku mengambil kursi untuk menyamakan tinggi tubuh ibuku dan tubuh diriku dan menciumnya. Lalu turun dari kursi. Lalu menyalahan sebatang rokok dan memandang sekeliling ruang itu.
Aku menutup pintu gubuk itu dari luar. Melemparkan rokokku ke atap dan setelah yakin api mulai menyala di sana, aku meninggalkan rumah yang kuanggap neraka itu sambil pelan-pelan menggumamkan kata-kata, "Kamu sudah tenang."
Lalu aku berjalan terus sampai lelah. Sampai kemudian hujan turun dan aku berteduh di bak mobil yang berisi buah melon yang terparkir di pinggir jalan dan aku tertidur sampai kusadari mobil pick up itu membawaku ke suatu kota yang tak kukenal.
Ketika aku hendak turun diam-diam ternyata sopir mobil itu mengawasiku. Diberinya aku sebutir melon sebelum akhirnya dia menyerah bahkan kami bisa berkomunikasi dengan baik. Ketika dia bertanya dari mana asalku, aku cuma menjawab sekeliling dengan pandangan mata. Ketika dia bertanya apa aku lapar, aki cuma memandang melon. Ketika dia bilang, "Di dunia ini ada banyak sekali orang tak berhasil mencapai tiga puluh sudah sinting. Tapi jangan cemas. Tuhan mengasihi semua umatnya. Semoga hidupmu diberkahi. Semoga umurmu senantiasa panjang." Lalu dia memberiku sebutir melon dan melanjutkan perjalanannya.
Aku menepi ke jalan raya dan memakan melon itu sampai kemudian aku merasa kenyang, aku membaginya dengan pengemis yang kuceritakan di atas. Dia senang sekali aku memberinya melon. Kata dia, aku memang peminta-minta. "Tapi seumur hidup baru kali ini aku benar-benar bersyukur menjadi peminta-minta. Melon ini enak sekali. Boleh aku minta nambah lagi?"
Aku mengulurkan sisa melonku. Dan menunggunya makan. Lantas ketika dia merasa kenyang, dia menarik tanganku dan memintaku untuk duduk sedikit lebih maju. Lebih maju sedikit katanya. Aku menurut. Lalu dia mengajariku caranya mengulurkan tangan ke udara.
Hari pertama aku mendapatkan sedikit. Dia lebih banyak. Maklum kesalahan pemula. Tapi lalu setelah seminggu aku mahir melakukan itu, pemasukanku sudah hampir bisa menyamai lelaki itu. Aku sangat senang dia sudah mengajariku cara yang benar mengulurkan tangan.
Lantas setelah satu bulan, maksudku, setelah aku benar-benar berpenampilan seperti pengemis; pakaian yang tak pernah ganti, rambut yang tak pernah disisir, muka yang jarang dicuci pemasukanku nyaris sama dengan lelaki itu. Dia sangat senang punya murid yang pandai yang bisa meneladai sikap gurunya.
Kemudian, suatu siang, aku mengulurkan tangan terlalu panjang. Ini membuat seseorang pengemudi mobil kesal. Dia memakiku, "Tolol! Tanganmu mau butung disambar mobil! Hah!" Lalu dari balik kaca mobil, dia melempariku sebuah buku yang kena langsung ke kepalaku.
Aku tidak marah. Pengemis kata guruku, pelajaran pertama, tidak boleh mudah marah.