Aku ingin bersamamu tapi tak mau pergi. Tubuhku ketakutan yang tak bisa beranjak. Terminal, bus kota, tukang becak, jalan-jalan setapak adalah labirin kemungkinan yang bisa membuatku tersesat. Bocah kecil yang kebingungan, yang lebih menyukai kamarnya sendiri ketimbang memilih mengunjungi pasar malam. Karena hanya di sana ia bisa merasa lebih aman, dan lebih bisa mendiami tubuhnya yang maha luas selagi tidak pergi.
Aku ingin bersamamu tapi tak mau pergi. Maka datanglah. Kepadaku. Aku telah menantimu lama sekali. Pintunya tak pernah terkunci. Masuk. Masuklah. Aku sudah bermimpi kau akan datang! Sering akan datang dan menuntaskan apa yang selama ini (mungkin) jadi mimpimu juga: kau ingin mengajakku bergabung ke dalam kamarmu juga. Hanya berdua saja. Tak ada siapa-siapa.
Aku ingin betul-betul bersamamu tapi tak mau pergi. Sebab keinginanku bersamamu mengajariku sopan santun, mencintaimu setiap hari. Silih berganti dengan harapan itu sama besarnya kecepatan waktu berlalu. Orang-orang mulai pikun dan aku bisa menundanya tanpa terasa lebih dekat kepadamu karena sadar bagi orang yang menanti tak boleh kurang ajar, hingga dirimu sendiri terbit bagai waktu fajar dan kita dapat bersama-sama saling berbagi kamar kebahagiaan.
Aku ingin bersamamu tapi aku tak mau pergi. Karena di sini, di tempatku berdiri, kekhawatiranku bukan kebutuhan mendadak sementara kau mungkin juga belum ingin beranjak.Â
Ajibarang, 12 Oktober 2017.
Di tempat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H