Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Alien dan Perasaan Tidak Bahagia

4 Oktober 2017   21:53 Diperbarui: 5 Oktober 2017   01:59 2096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: orang berendam dalam air | www.instagram.com/philspinelli/

Apa itu hidup, Lis? Pukul tiga pagi. Aku membasuh mukaku ke air mengalir di belakang rumah. Kehidupan apa yang sedang kita jalani ini? Seekor kucing yang tiba-tiba melintas ke tengah-tengah jalan? Ikan yang tak sengaja menumpang hidup di laut dengan cara sesekali menyembul ke permukaan air sebelum dirinya kembali merasa gelisah menenggelamkan diri lagi dan lagi dan lagi? Atau seengok kayu yang menanti dipatik, dibakar dan dibakar dan dibakar, setelah sebuah usaha keras yang tak kunjung-kunjung menyala? Tapi, bagaimana dengamu? Apa itu artinya kita menjalani hidup yang berbeda? Maksudku seorang badut yang demi memenuhi kebutuhan biologisnya ia mesti rela bersusah payah berpura-pura bahagia? Demi orang-orang di sekitarnya? Keadaan yang telah membuatnya kehilangan kehendak untuk mengatakan apa yang sejujurnya dirasakannya, dipikirkannya, namun hanya mampu ia simpan dalam setiap kepingan mimpi-mimpi kecil yang satu pun orang mampu menyentuhnya dengan ujung jari mereka.

Engkau yang sanggup menjadikan aku berani bermimpi. Harapan telak membunuhku berkali-kali lipat setelah bangkit dan hidup dalam ketotalan yang mengagumkan. Engkau yang terus berkata-kata agar aku tak putus asa, orang lain tempatku bergantung dari euforia semesta yang tak jelas juntrungannya ini. Engkau yang tak letih-letihnya menyemangati supaya aku keras kepala, berdoa, dan terus berusaha mengelem mozaik-mozaik mimpi kecil yang, kini tertatih-tatih aku rekatkan sendiri. 

Kini, kau apa kabarmu? Akankah kau ingat bahwa kita ini sebetulnya bukan makhluk pribumi seperti yang sering digembor-gemborkan oleh cerita-cerita masa lalu. Kau sendiri yang selalu bilang begitu padaku, bahwa, sejatinya kita ini bukan makhluk asli bumi. Kita ini alien. Makhluk pendatang baru, makhluk luar angkasa yang sedang berusaha mengekspansi bumi. Yang oleh orang-orang Eropa sering digambarkan memiliki kekuatan dan kedisplinan spesial dari pada makhluk lainnya. Yang faktanya tentu sangat berlainan.

Kita adalah makhluk lemah, rapuh dan mudah tidak bahagia. Maksudmu, bukankah begitu, Lis?

Oh. Sekarang aku tahu. Kenapa kita mesti repot-repot menjahit baju, menyulam sarung tangan, dan atau menciptakan obat antiseptik sendiri. Tidak seperti kambing misalnya, mereka yang memang tercipta dengan desain yang kokoh dan kuat seperti wol bisa melindungi dirinya dari hawa dingin. Atau laksana seekor kuda. Yang tak memerlukan sepatu bot, karena alam sudah berbaik hati memberinya sepatu luar biasa yang bisa tahan dalam perjalanan beratus-beratus kilometer tanpa membuatnya goyah dan kehilangan keseimbangan. Seperti halnya pohon, makhluk pribumi lain, yang dimodifikasi tak pernah kesepian. Pohon-pohon itu bisa saling menyapa dengan mengulurkan ranting-ratingnya ke pada pohon lain jika mereka sedih atau kesepian.

Sementara, Lis, apa yang sudah bisa kita lakukan dengan diri kita sendiri? Kehidupan apa yang hendak kita pilih untuk dijalani? Akankah kita harus merasa iri pada mereka, makhluk-makhluk asli pribumi yang polos-polos itu? Hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan; pohon-pohon itu?

Kita merasa lemah, rapuh, sekaligus tidak bahagia. Seperti kebanyakan orang-orang lakukan. Karena merasa tak tahan dengan kesepiannya; yang dingin dan berlimpah rasa dengki dari dalam hatinya, mereka menarik kulit-kulit kambing dan menyatukannya menjadi swetter hangat, parka, atau sebuah shall kado untuk kekasihnya yang jauh. Namun karena hal itu tak pernah cukup membantu isi hatinya sebab proses melindungi diri yang ekstrem dan kejam, mereka masih menginginkan sepatu bot yang hangat. Lalu belum puas apa yang sudah dilakukan karena kesepian itu belum benar-benar tuntas di dasar hatinya, mereka mencabuti pohon demi pohon karena tidak pernah bisa melihat selain dirinya tak boleh bahagia atau harus menanggung kesepian yang sama. Mereka semua harus sama kesepiannya. Lalu korbannya lengan ranting-ranting pohon itu yang mula-mula saling menggenggam erat pada akhirnya harus terpisahkan.

Mengapa harus seperti itu? Lis, mengapa juga caranya harus seperti itu?

Aku tak ingin hidup dengan cara seperti itu, Lis. Tidak ingin.

Atau barangkali kau ingin mengatakan sesuatu. Ingin usul sesuatu dan bercerita asal alasan mengapa kita tak bahagia. Aku janji akan patuh mendengarkannya. Aku tidak akan kemana-mana. Meski aku yakin kau sendiri tak akan bisa berbuat apa-apa. Kau sendiri melakukan cara yang seperti mereka lakukan.

Ada banyak sekali orang yang setelah bahkan berhasil mengekspansi bumi seperempatnya, atau setengahnya; atau bahkan menebang seluruh pohon-pohon yang tersisa di muka bumi, kurasa mereka tetap saja tidak bahagia.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun