Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Drama Pilihan

Tentang Seekor Anak Ayam dan Sudah Waktunya Berubah Pikiran

4 Oktober 2017   11:56 Diperbarui: 4 Oktober 2017   17:31 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Anak Ayam | Pixabay.com

Saya seharusnya sudah menyelesaikan 4 cerpen dan 10 puisi di note hape saya yang tertunda beberapa minggu lalu karena berbagai alasan seperti: belum menemukan pamungkas cerita yang pas, jengah dengan melakukan editing berulangkali namun justru membuat struktur ceritanya semakin hancur, dan apa itu roh? Mereka meninggalkan puisi saya bahkan sebelum jasadnya sempat dihidupkan.

Jadi begitulah. Pagi ini saya kembali merenungkan banyak hal. Di teras rumah. Sambil ngopi dan menghisap asap sampai di suatu detik yang betul-betul tepat seorang tetangga menegur saya, "Mau beli ayam?"

Ayam? Pikir saya. Heran. Kenapa ini semua tiba-tiba soal ayam? Kenapa tidak sekalian mukjizat yang diperoleh "papa minta saham" yang tiba-tiba sakti itu?

"Aku punya ayam," kata tetangga saya itu dengan suara pipih. Ujung hidungnya nyaris menempel ke muka saya. "Maksudku, anak ayam. Mau beli?"

"Mau," kata saya supaya ujung hidungnya lekas menjauh.

"Ada empat. Cuma tujuh puluh ribu rupiah."

"Aku beli semuanya."

Lalu mendadak dia menghilang secara dramatis. Maksud saya, dia pulang ke rumahnya. Lantas sepuluh menit kemudian, dia kembali. Bersama sebuah sangkar lengkap dengan empat ekor anak ayam yang ia cangking dengan tangan kiri.

Oi, saya pikir ini cuma obrolan garing. Namun entah kenapa ia justru menganggapnya serius.

"Oi, ini beneran?" Saya menegur.

Ia tidak menjawab. Tetangga saya acuh tak acuh. Ia mengeluarkan satu ekor ayam dari dalam sangkarnya dan berkata, "Bangkok."

Saya tidak peduli asal-usul ayam itu. Mau dari bangkok kek. Mau dari madura kek. Mau dari induknya kek. Mau dari induknya yang lahir di Bangkok, terus pindah ke Madura kek. Saya tidak peduli. Tapi pertanyaannya, kenapa ini semua soal ayam?

Tetangga saya mengelus-ngelus tengkuk anak ayam yang tadi diambilnya. Lantas dengan tangan kirinya menyerahkan hewan omnivora itu ke pangkuan saya.

Tentu saja saya bergeming. Saya tidak takut dengan seekor ayam. Namun tak lama ketika menyadari bahwa ada sesuatu yang bergerak-gerak di pangkuan saya, segera saja saya terkejut. Saya sedikit melompat. Melakukam gerakan-gerakan yang sebetulnya tak perlu namun sering dilakukan banyak orang ketika diri mereka merasa terancam. Dan sama seperti yang dilakukan oleh anak ayam ketika belum siap berhadapan dengan pemangsa dalam perjalanannya mencari makan, seketika itu pula anak ayam itu, juga ikutan melompat. Lalu ia langsung kabur, lari terbirit-birit bagai baru saja bertemu jin ifrit. 

Namun sayang sebelum dia bisa benar-benar berhasil kabur, teman saya lebih dulu menangkapnya.

Tetangga saya lalu mengelus tengkuk ayam itu lagi. Seolah berusaha menenangkannya. Jangan takut. Dan selama sepuluh detik terakhir mereka berdua saling berdiam diri. Yang saya rasa, justru mereka berdua sedang melakukan obrolan dramatis.

Namun bukan berarti saya tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, saya tidak bisa membayangkan arah percakapan mereka. Saya ini penulis fiksi dan saya pikir bukam hal yang sulit, jika saya ingin menggambarkan diaolg rahasia mereka di pagi pukul tujuh lewat tujuh menit ini.

Saya gambarkan, kira-kira begini:

Tokoh-tokoh:
1. TS: Tetangga Saya
2. AA: Anak Ayam.

Setting cerita:
Di pelataran rumah. Suatu pagi di teras rumah.
Waktu:
Pagi pukul 07.07 menit.

Cerita dimulai ketika AA jatuh dari pangkuan seseorang. Dia begitu takut. Maka dia lari lingkang pukang layaknya yang dia harapkan dengan kaki-kaki kecil ayamnya yang cukup pendek namun lumayan gesit. Akan tetapi kemudian usahanya harus berhenti ketika TS segera menangkapnya dan memeluk dirinya di pangkuannya. Lantas dengan suara lirih dan agak merdu , TS berkata kepada AA, "Jangan takut. Semua baik-baik saja. Jangan takut."

Napas AA masih sedikit tersengal. Degup jantungnya berdetak hebat bahkan jauh lebih hebat dari pada yang dirasakannya. Namun menyadari seseorang memeluknya dengan lembut, lambat laun napas itu kembali teratur. Lantas dia bilang, "Aku tidak takut. Aku cuma--"

"Jangan takut," potong TS, kembali menenangkan. "Dia bukan seekor ular (yang dimaksud "dia" adalah saya) dia cuma seekor monyet yang beringas dan pecicilan. Jadi---"

"Tapi aku takut."

"Jadi jangan takut," TS melanjutkan kalimatnya yang belum selesai. "Seekor monyet tak pernah kedengaran riwatnya pernah memakan seekor anak ayam. Ayo, sekarang kembalilah padanya..."

"Tapi---"

TS buru-buru menyerahkan AA kepada seseorang yang berdiri satu lengan darinya. Yaitu saya. Percakapan pun berakhir.

Saya langsung meraih anak ayam itu dan memeluknya dengan lembut. Seakan-akan ikut membenarkan isi kepalaku, "Benar. Jangan takut. Sebenarnya aku ini manusia biasa. Tapi kalau kau mau menganggapku kera, kurasa aku tak masalah. Jadi kumohon jangan takut."

Dan anak ayam itu entah kenapa memang benar-benar tenang di pelukan saya.

Lalu, dan tak lama setelah perkenalan dan kedekatan kami yang singkat dan tiba-tiba itu, lekas saja saya merasakan kehangatan yang aneh. Merasakan sesuatu yang lazim terjadi namun sulit mengatakannya: saya jatuh cinta dengan seekor anak ayam ini. Dalam waktu yang begitu singkat dan tak terelakan.

Bukan masalah. Saya kira. Saya memang mencintainya dan saya pikir sangat mudah jika dibanding perasaan yang bertahun-tahun saya pendam dan terkubur dalam demi mendapati kenyataan tak semua cinta dapat memiliki. Tapi dengan anak ayam ini saya bisa berharap langsung memilikinya. Mengapa tidak? Lagi pula, bukankah tetangga saya memang menawarkan anak-anak ayamnya untuk saya?

Saya jatuh cinta dengan seekor anak ayam ini. Saya akan membelinya.

"Berapa?" Tanya saya kali ini serius.

"Seratus lima puluh ribu," kata tetangga saya yang dia pikir saya mulai menyukai anak ayamnya. Dan dia begitu cerdik mengambil manfaat dari balik sisi kelemahan kemanusiaan saya.

Tunggu sebentar. Tadi, sepuluh menit yang lalu, bukankah dia bilang tujuh puluh ribu untuk harga semua anak-anak ayamnya?

Tidak bisa. Saya memang jatuh cinta padanya. Namun itu semua bukan alasan saya harus membayar mahal dengan apa yang sepatutnya dapat diperhitungkan. Sebab jika memang dia berpikir semua orang yang sedang jatuh cinta itu buta, maka sebaiknya dia berunding ulang karena jelas dia harus tahu bahwa saya bukan salah satu dari mereka.

Saya harus protes. "Bicara seperti tetangga, Bung. Bukan seperti pedagang!"

Saya kembali mengelus-ngelus tengkuk anak ayam itu. Memainkan bulu-bulu sayap-sayap kecilnya, dan menunggu keputusan yang akan dibuat oleh tetangga saya itu. Dia nampak berpikir keras. Saya menghembuskan napas santai.

Setelah dua puluh detik berlalu, akhirnya dia pun membuka mulut. "Oke, seratus ribu untuk harga semua anak ayam ini," katanya.

Tidak. Saya hanya menginginkan satu ekor anak ayam. Cuma satu ekor anak ayam yang telah membuat saya jatuh cinta. Tidak lebih. Sebab empat ekor anak ayam, kurasa itu terlalu banyak. Dan saya tak mungkin membagi cinta saya kepada yang banyak itu kepada mereka semua. Sebab jika memang benar-benar dilakukan, maka sebanyak apa pun cinta yang saya miliki, masing-masing akan mendapatkan sedikit. Karena tentu saja saya mesti membaginya. Saya tidak bisa. "Saya cuma ingin anak ayam ini. Yang di pangkuan saya."

Teman saya ber-oh. Lalu dehem. "Hmmm..... Kau tahu? Aku bisa saja kasih kamu anak ayam ini satu. Cuma satu. Tapi apa kamu bisa tega dan begitu egois melihat bahwa anak-anak ayam ini telah melewati banyak masa-masa sulit bersama-sama setelah ibu mereka tiada?  Aku pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri bahwa mereka sebetulnya memiliki perasaan kehilangan laiknya manusia. Yang bisa sedih dan haru. Ibu mereka dimangsa seekor ular sawah saat mereka masih begitu kecil. Dan kau tahu apa yang dilakukan mereka ketika itu?  Menangis dan menangis dan menangis. Mereka mengapresiasikan kesedihannya sepanjang hari. Namun sialnya bagitu suara itu sampai ke telinga kita malah terdengar seperti suara "piyak-piyak" anak ayam yang tak sengaja diinjak kakinya atau karena berteriak kelaparan. Tentu saja mereka kelaparan. Mereka sedih dan kelaparan."

Cukup sudah cerita omong kosong ini. Saya tidak peduli apa yang sebetulnya tetangga saya bicarakan. Namun memang jika diperhatikan dengan saksama ke dalam sangkar, ke tiga anak ayam itu sungguh tak kalah lucunya dengan seekor ayam yang sedang saya peluk.

Saya pernah mencintai seorang gadis dengan benar-benar tulus dan murni dan membingungkan. Sampai suatu ketika dia meninggalkan saya. Hingga kebingungan itu bertambah terus menerus dengan sendirinya, tanpa mampu saya cegah, hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun berganti dengam tingkat yang sangat mengkhawatirkan.Baiklah. Sekarang mungkin sudah waktunya berubah pikiran sejak awal. Saya tak boleh kehilangan lagi dan merasa menyesal karenanya. Dan saya rasa, memelihara satu atau dua anak ayam sekaligus saya pikir bukan lah ide buruk. Bagaimana dengan empat?

"Tujuh puluh ribu!"

"Mau saya jelaskan cara merawatnya?"

Tiba-tiba saja saya dapat merasakan mendapatkan ide. 

Ajibarang, 4 Oktober 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun