"Seratus lima puluh ribu," kata tetangga saya yang dia pikir saya mulai menyukai anak ayamnya. Dan dia begitu cerdik mengambil manfaat dari balik sisi kelemahan kemanusiaan saya.
Tunggu sebentar. Tadi, sepuluh menit yang lalu, bukankah dia bilang tujuh puluh ribu untuk harga semua anak-anak ayamnya?
Tidak bisa. Saya memang jatuh cinta padanya. Namun itu semua bukan alasan saya harus membayar mahal dengan apa yang sepatutnya dapat diperhitungkan. Sebab jika memang dia berpikir semua orang yang sedang jatuh cinta itu buta, maka sebaiknya dia berunding ulang karena jelas dia harus tahu bahwa saya bukan salah satu dari mereka.
Saya harus protes. "Bicara seperti tetangga, Bung. Bukan seperti pedagang!"
Saya kembali mengelus-ngelus tengkuk anak ayam itu. Memainkan bulu-bulu sayap-sayap kecilnya, dan menunggu keputusan yang akan dibuat oleh tetangga saya itu. Dia nampak berpikir keras. Saya menghembuskan napas santai.
Setelah dua puluh detik berlalu, akhirnya dia pun membuka mulut. "Oke, seratus ribu untuk harga semua anak ayam ini," katanya.
Tidak. Saya hanya menginginkan satu ekor anak ayam. Cuma satu ekor anak ayam yang telah membuat saya jatuh cinta. Tidak lebih. Sebab empat ekor anak ayam, kurasa itu terlalu banyak. Dan saya tak mungkin membagi cinta saya kepada yang banyak itu kepada mereka semua. Sebab jika memang benar-benar dilakukan, maka sebanyak apa pun cinta yang saya miliki, masing-masing akan mendapatkan sedikit. Karena tentu saja saya mesti membaginya. Saya tidak bisa. "Saya cuma ingin anak ayam ini. Yang di pangkuan saya."
Teman saya ber-oh. Lalu dehem. "Hmmm..... Kau tahu? Aku bisa saja kasih kamu anak ayam ini satu. Cuma satu. Tapi apa kamu bisa tega dan begitu egois melihat bahwa anak-anak ayam ini telah melewati banyak masa-masa sulit bersama-sama setelah ibu mereka tiada? Â Aku pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri bahwa mereka sebetulnya memiliki perasaan kehilangan laiknya manusia. Yang bisa sedih dan haru. Ibu mereka dimangsa seekor ular sawah saat mereka masih begitu kecil. Dan kau tahu apa yang dilakukan mereka ketika itu? Â Menangis dan menangis dan menangis. Mereka mengapresiasikan kesedihannya sepanjang hari. Namun sialnya bagitu suara itu sampai ke telinga kita malah terdengar seperti suara "piyak-piyak" anak ayam yang tak sengaja diinjak kakinya atau karena berteriak kelaparan. Tentu saja mereka kelaparan. Mereka sedih dan kelaparan."
Cukup sudah cerita omong kosong ini. Saya tidak peduli apa yang sebetulnya tetangga saya bicarakan. Namun memang jika diperhatikan dengan saksama ke dalam sangkar, ke tiga anak ayam itu sungguh tak kalah lucunya dengan seekor ayam yang sedang saya peluk.
Saya pernah mencintai seorang gadis dengan benar-benar tulus dan murni dan membingungkan. Sampai suatu ketika dia meninggalkan saya. Hingga kebingungan itu bertambah terus menerus dengan sendirinya, tanpa mampu saya cegah, hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun berganti dengam tingkat yang sangat mengkhawatirkan.Baiklah. Sekarang mungkin sudah waktunya berubah pikiran sejak awal. Saya tak boleh kehilangan lagi dan merasa menyesal karenanya. Dan saya rasa, memelihara satu atau dua anak ayam sekaligus saya pikir bukan lah ide buruk. Bagaimana dengan empat?
"Tujuh puluh ribu!"