Saya tidak peduli asal-usul ayam itu. Mau dari bangkok kek. Mau dari madura kek. Mau dari induknya kek. Mau dari induknya yang lahir di Bangkok, terus pindah ke Madura kek. Saya tidak peduli. Tapi pertanyaannya, kenapa ini semua soal ayam?
Tetangga saya mengelus-ngelus tengkuk anak ayam yang tadi diambilnya. Lantas dengan tangan kirinya menyerahkan hewan omnivora itu ke pangkuan saya.
Tentu saja saya bergeming. Saya tidak takut dengan seekor ayam. Namun tak lama ketika menyadari bahwa ada sesuatu yang bergerak-gerak di pangkuan saya, segera saja saya terkejut. Saya sedikit melompat. Melakukam gerakan-gerakan yang sebetulnya tak perlu namun sering dilakukan banyak orang ketika diri mereka merasa terancam. Dan sama seperti yang dilakukan oleh anak ayam ketika belum siap berhadapan dengan pemangsa dalam perjalanannya mencari makan, seketika itu pula anak ayam itu, juga ikutan melompat. Lalu ia langsung kabur, lari terbirit-birit bagai baru saja bertemu jin ifrit.Â
Namun sayang sebelum dia bisa benar-benar berhasil kabur, teman saya lebih dulu menangkapnya.
Tetangga saya lalu mengelus tengkuk ayam itu lagi. Seolah berusaha menenangkannya. Jangan takut. Dan selama sepuluh detik terakhir mereka berdua saling berdiam diri. Yang saya rasa, justru mereka berdua sedang melakukan obrolan dramatis.
Namun bukan berarti saya tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, saya tidak bisa membayangkan arah percakapan mereka. Saya ini penulis fiksi dan saya pikir bukam hal yang sulit, jika saya ingin menggambarkan diaolg rahasia mereka di pagi pukul tujuh lewat tujuh menit ini.
Saya gambarkan, kira-kira begini:
Tokoh-tokoh:
1. TS: Tetangga Saya
2. AA: Anak Ayam.
Setting cerita:
Di pelataran rumah. Suatu pagi di teras rumah.
Waktu:
Pagi pukul 07.07 menit.
Cerita dimulai ketika AA jatuh dari pangkuan seseorang. Dia begitu takut. Maka dia lari lingkang pukang layaknya yang dia harapkan dengan kaki-kaki kecil ayamnya yang cukup pendek namun lumayan gesit. Akan tetapi kemudian usahanya harus berhenti ketika TS segera menangkapnya dan memeluk dirinya di pangkuannya. Lantas dengan suara lirih dan agak merdu , TS berkata kepada AA, "Jangan takut. Semua baik-baik saja. Jangan takut."
Napas AA masih sedikit tersengal. Degup jantungnya berdetak hebat bahkan jauh lebih hebat dari pada yang dirasakannya. Namun menyadari seseorang memeluknya dengan lembut, lambat laun napas itu kembali teratur. Lantas dia bilang, "Aku tidak takut. Aku cuma--"