Saya seharusnya sudah menyelesaikan 4 cerpen dan 10 puisi di note hape saya yang tertunda beberapa minggu lalu karena berbagai alasan seperti: belum menemukan pamungkas cerita yang pas, jengah dengan melakukan editing berulangkali namun justru membuat struktur ceritanya semakin hancur, dan apa itu roh? Mereka meninggalkan puisi saya bahkan sebelum jasadnya sempat dihidupkan.
Jadi begitulah. Pagi ini saya kembali merenungkan banyak hal. Di teras rumah. Sambil ngopi dan menghisap asap sampai di suatu detik yang betul-betul tepat seorang tetangga menegur saya, "Mau beli ayam?"
Ayam? Pikir saya. Heran. Kenapa ini semua tiba-tiba soal ayam? Kenapa tidak sekalian mukjizat yang diperoleh "papa minta saham" yang tiba-tiba sakti itu?
"Aku punya ayam," kata tetangga saya itu dengan suara pipih. Ujung hidungnya nyaris menempel ke muka saya. "Maksudku, anak ayam. Mau beli?"
"Mau," kata saya supaya ujung hidungnya lekas menjauh.
"Ada empat. Cuma tujuh puluh ribu rupiah."
"Aku beli semuanya."
Lalu mendadak dia menghilang secara dramatis. Maksud saya, dia pulang ke rumahnya. Lantas sepuluh menit kemudian, dia kembali. Bersama sebuah sangkar lengkap dengan empat ekor anak ayam yang ia cangking dengan tangan kiri.
Oi, saya pikir ini cuma obrolan garing. Namun entah kenapa ia justru menganggapnya serius.
"Oi, ini beneran?" Saya menegur.
Ia tidak menjawab. Tetangga saya acuh tak acuh. Ia mengeluarkan satu ekor ayam dari dalam sangkarnya dan berkata, "Bangkok."