Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pertanyaan-pertanyaan yang Tenggelam

25 September 2017   18:48 Diperbarui: 25 September 2017   19:54 2777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kertas itu robek. Seseorang mungkin telah merobeknya. Seseorang, yang sebelum saya, mungkin juga telah membaca pesan itu, dan merobeknya begitu dia tahu apa yang harus dia lakukan.

Lantas di kepala saya membayangkan: dia merobek kertas itu menjadi beberapa bagian. Lalu kertas itu terbang. Lalu bagian kecil kertas itu mendarat ke bawah kaki saya. Saya pun membacanya, lantas saya melakukan apa yang dilakukan lelaki sebelum saya lakukan pada kertas itu. Yaitu: merobeknya.

Tapi kali ini saya melakukan hal lain. Merobeknya menjadi berkeping-keping supaya kertas sialan itu tidak berkeliaran mencari korban lagi.

Saya memang, beginilah. Sudah lama sekali setiap berusaha menyerahkan diri keluar rumah selalu merasa dihantui perasaan terancam dan disakiti. Bahkan oleh sekedar secarik kertas yang tak sengaja saya baca.

Saya selalu takut orang-orang melukai saya dengan pandangan pertama mata mereka. Atau dalam sebuah pesan ganjil sekali pun. Saya pernah, di sebuah gerbong kereta api, duduk berhadap-hadapan dengan seorang wanita paling cantik di dunia. Dia terus-menerus melihat saya, seolah-olah sedang berniat membuat jatuh cinta lelaki di hadapannya, dengan pandangan pertama, kedua, ketiga dan ke seratus sepuluh matanya.

Merasa saya tak mungkin bisa meraih wanita paling cantik di dunia ini, saya pun berusaha mengabaikannya. Tapi sayang, usaha saya terlalu lemah dan cuma bentuk lain dari kesia-siaan karena wanita itu telah sangat berhasil dengan rencananya. Saya sudah jatuh cinta padanya. Maka ketika hal itu terjadi, ketika dia, dengan ekor matanya melirik dan melihat saya, aduh, hati saya seakan-seakan bagai ekor yang terjepit di antara celah. Rasa sakitnya tak tertahankan. Betul-betul sakit sampai-sampai saya memikirkan cara melompat dari gerbong kereta api yang sedang melaju kencang.

Saya meremas-remas potongan-potongan kecil kertas itu hingga membentuk sebuah bola kecil di kepalan tangan saya. Sekuat tenaga. Sekuat-kuatnya. Lalu melemparkan jauh buntalan kertas kecil ke arah barat.

Saya tidak tahu kenapa harus ke arah barat. Tidak ke arah selatan atau utara atau semacamnya. Tapi saya percaya di sanalah arah matahari tenggelam.

***

Ajibarang, 25 September 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun