Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pertanyaan-pertanyaan yang Tenggelam

25 September 2017   18:48 Diperbarui: 25 September 2017   19:54 2777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah jalan, di sebuah gang kecil, sehelai kertas putih mangkak tertiup angin. Ia terbang merendah. Lalu seolah memilki sepasang sayap untuk melakukan pendaratan, selembar kertas itu menukik, lantas hinggap di bawah kaki saya.

"Kau boleh saja memutuskan tidak menikah sampai akhir hanyat. Itu bukanlah keputusan buruk. Segala kekacauan di muka bumi ini memang terjadi karena perkara sepele. Salah-salah mengingat batas teritorial kencing kita misalnya. Atau, jika kau ingin alasan yang lebih sepele-kalau kau cukup bernyali-datang dan pergi ke Istana Negara tepat di hari Senin. Lalu panjat tiang bendera yang ada di sana dan membaliknya dengan warna bendera Polandia. Mereka mungkin akan menghargai usahamu sebagai orang gila dan sebagai gantinya kau akan dipukuli hingga hampir mati. Dan saat itulah kau akan paham apa yang sedang kita bicarakan.

"Orang-orang yang memukulimu, lahir dari keluarga harmonis, tidak harmonis, dan agak harmonis untuk memudahkan jalan cerita. Akan tetapi mereka tidak akan paham apa yang sedang mereka lakukan sampai-sampai setiap pagi, mesti membuatnya bangun dari tidur panjang lantas mengenakan seragam yang menuntutnya terlihat macho, yang menurutmu justru terlihat sangat konyol.

"Baiklah. Kita sudah melantur terlalu jauh. Sebab kita memang tak pernah diijinkan melakukan apa yang kita mau kan? Sebab kita sedang bicara soal keputusanmu memilih tidak menikah.

"Dalam pernikahan, kau tahu, sebaiknya membelenggu. Aktivitas buang-buang waktu dengan satu kata kerja yang terlampau berat buat dipikirkan. Yakni: komitmen. Mungkin itu alasan utama ketakutanmu menghadapi pernikahan.

"Karena kau harus mengingat kata itu setiap saat, ketika kau, misalnya, ingin pergi memancing di hari libur tanpa berangkat dengan sebuah angan-angan tidur berbantal sebelah lengan ketika kau pulang nanti. Ketika kau tak diijinkan masuk ke dalam rumahmu sendiri. Padahal kau betul-betul suka kegiatan pancing-memacing, tanpa berniat mengubah istilah itu menjadi kata yang sama sekali berbeda maknanya: memancing kemarahan istrimu sendiri.

"Atau ketika kesenanganmu yang lain, berkumpul dan bersantai bersama teman-teman lamamu. Atau saat-saat kau sedang ingin sendiri. Tidak ingin diganggu. Meskipun jujur saja perilakumu itu mungkin bisa dimaafkan tanpa resiko.

"Akan tetapi apa tanggapamu tentang kebiasaan buruk? Pasanganmu mungkin bisa menerima semua keburukanmu. Namun bagaimana sepuluh atau duapuluh tahun ke depan?

"Apalagi jika kita bicara soal anak-anak dan kebutuhan-kebutuhan mereka. Yang sekonyong-koyong tanpa ampun dapat mendesak kalian berdua bagai dua orang malang yang sedang terjebak di kubangan lumpur. Seperti dua ekor babi yang bahkan tak bisa saling menggaruk ujung hidung mereka sendiri. Tak ada udara, tak ada sinar matahari, tak ada petunjuk datang seorang bala keselamatan tuhan yang berbaik hati menolong kalian.

"Tapi mungkin itu hanya dasar-dasar ketakutan semata saja. Yang tak perlu-perlu amat untuk dicemaskan. Semuanya akan berjalan lancar selagi kalian mau berbagi napas.

"Namun bagaimana dengan kehidupan anak-anak kalian? Maksudku, kebutuhan hak prerogatif setiap manusia diciptakan dengan pikiran dan nafsu dan akal mereka? Misalnya, setelah mereka terverifikasi sebagai anggota keluarga, anak-anak memiliki pikirannya sendiri dan sebagai orang tua, kau tentu tak boleh menguji mereka dengan berharap kasih sayang yang sama telah kau berikan padanya sejak masih bayi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun