Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mengingat Hal Baik Bersama Kompasiana dalam Moment Terbaik

9 November 2016   01:02 Diperbarui: 9 November 2016   01:06 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

8 November 2016, 22 bulan 6 hari saya resmi bergabung bersama kompasiana. Saya Kompasianer asal Purwokerto - Jawa Tengah. Awal mengenal blog keroyokan ini cukup rumit, untuk tidak menyebutnya bermasalah.

Sebelum bergabung bersana kompasiana, saya lebih dulu bergabung dengan group kepenulisan yang diasuh oleh Isa Alamsyah dan istrinya, Asma Nadia—penulis buku Surga yang Tak Dirindukan. Namun tak beberapa lama di sana, karena saya, asumsi saya, menurut mereka, barangkali saya adalah satu orang bermasalah. Saya dikeluarkan dari group itu, padahal saya butuh ruang untuk menampung semua tulisan-tulisan saya, alih-alih saya menemukan blog kroyokan ini, ruang baru yang lebih besar dan megah.

Semangat saya ketiaka itu memang hampir padam, saya seperti membawa api kecil di tangan saya. Sementara angin keputusasaan bisa meniupnya kapan saja. Jadi dalam keadaan mempertahankan nyala api saya mulai mengamati Kompasiana. Kompasiana, menurut mesin pencari, adalah suatu tempat yang diisi dari berbagai kalang penulis sebagai media untuk menyampaikan gagasan pendapat melalui fakta lapangan maupun isi kepala mereka dalam bentuk tulisan, gambar, rekaman audio atau vidio, atau komposisi lingkup semua itu. Saya juga mendapatkan informasi bahwa do’i adalah blog terbesar di Indonesia. Itu benar.

Mengetahui fakta tersebut, saya sangat tertarik dan menaruh minat saya pada Kompasiana ini, meskipun saya menghabisakan banyak waktu untuk mengintip dan mengamatinya karena pelbagai pertimbangan; seperti miskin pengetahuan saya tentang menulis, hingga saya tak dapat menahan diri saya untuk tidak bergabung dan mendekati dan mengetuk pintu rumah ini.

Saya mengetuk pintu itu dan menyampaikan keinginan saya untuk bergabung, serta patuh dan siap menerima hukuman jika memang diperlukan . Dan seperti halnya seorang ibu, kompasiana tersenyum dan mensilakan duduk, dan disuruhnya saya memilih tempat duduk menurut ukuran favorit saya. Ada banyak tempat duduk kosong di rumah ini, namun lebih banyak yang diisi daripada yang kosong. Saya mencari tempat duduk saya paling nyaman, yakni fiksi. Dan juga sebagai ibu yang baik, Kompasiana, tidak pernah melarang saya untuk tidak duduk di mana pun yang saya sukai, dan oleh sebab itu saya kadang menulis selain fiksi.

Selama bertamu di Kompasiana, saya tahu pasti, ia adalah seorang ibu sekaligus tuan rumah yang dengan senang hati mendengarkan tamunya mengeluh melalui tulisan-tulisan fiksi. Saya mengunggah itu semua di kanal fiksi, yang sarat akan kesedihan . Ia dapat menerimanya dengan perhatian dan ketulusan, sehingga saya merasa tak memiliki alasan untuk tidak mengunjunginya lagi dan lagi dan lagi sebagai tamu. Ia adalah ibu yang dapat berlaku adil kepada setiap tamunya, meskipun saya pikir, saya tak mau dianggap sebagai tamu karena, tamu macam apa saya ini jika setiap hari main melulu, jika bukan seperti keluarga sendiri.

Saya kini benar-benar membayangkan, ya ampun, andai Kompasiana ini adalah seorang ibu dan memiliki seorang putri, ya maulah saya menikahi anaknya itu. Bukan apa-apa, tapi perasaan kepengin dianggap sebagai keluarga di dalam diri saya begitu besar.

Dan inilah Momen Terbaik Saya Bersama Kompasiana

Mendapatkan Headline pertama kali. Saya kaget. Tulisan cermin (cerita mini) saya Sepasang Bintang yang Berlinang diapresiasi Headline oleh Kompasiana. Saya sangat senang. Sehingga selama itu terjadi, saya tak henti-hentinya membaca tulisan saya itu, yang banyak sekali typo—kesalahan ejaan. Tapi itu semua sama sekali tidak mempengaruhi rasa senang saya. Lagi pula, saya newbie dan juga manusia biasa. Pada saatnya nanti saya pasti akan belajar dari kesalahan dari masa lampau itu. #Tsah..

Saya makin konsisten menulis di Kompasiana, karena saya pikir saya memiliki alasan: merasa nyaman duduk di sana, dan konsistensi saya alhamdulilahmempengaruhi Kompasiana menempatkan puisi Sepasang Kopi yang Diam sebagai 11 Puisi Pilihan Maret 2015. Saya girang dan membaca ulang, ulang dan ulang puisi itu, mengingat saya termasuk anak baru dibanding 10 penulis lain, yang juga tak boleh dilupakan adalah para penulis puisi anyar dan lama yang tak kalah mahir dari pada saya.

Selanjutnya waktu terasa seperti buku yang terbuka; saya melewati dan melewati halaman ke halaman hari-hari berpikir tulisan apa lagi yang akan saya unggah di Kompasiana tercinta ini. Sementara di setiap buku, ada saja saat kamu berhenti untuk menarik dirimu membaca ulang, karena sebuah halaman yang sangat menarik atau entah kamu—ketika membaca bukumu hari itu—ada satu kalimat yang tak bisa kamu mengerti. Saya mengunggah dan mengalami keduanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun