Kebosanan saya muncul tiba-tiba, seperti bayang-bayang bocah di tengah jalan dan pengendara kikuk yang tak tahu apa harus ia lakukan. Bertanya-tanya: apakah ini saat yang tepat menabrakan kepala ke trotoar?
Beberaha hari lalu saya menghapus beberapa tulisan saya di Kompasiana. Tak ada alasan rahasia, alasan romantis, atau pun alasan filosofis yang dapat saya bagi. Strategi ini sepenuhnya timbul karena kebosanan itu muncul, membisik ke telinga saya, yang kira-kira melafalkan kata-kata, "Tulisanmu nggak berguna, I!"
Maka saya menghapusnya. Ingin seluruhya, kecuali. Apa-apa yang seringnya saya lakukan, memang tidak berguna. Seperti kesepian. Mereka tidak berguna. Seperti penyair yang mencintai kesepian. Mereka tidak berguna, kecuali kesedihan mereka menuliskan sajak.
Akhir-akhir ini saya menamatkan lakon saya sebagai peran di dunia untuk merenung dan menatap langit-langit kamar. Dua ekor cicak boleh jadi jelmaan malaikat yang sejak tadi mengintai, mengamati dan meyakini teman sebelahnya bahwa mereka tidak keliru (lagi) menempatkan diri sebagai pencabut nyawa profesional dengan modal menenteng daftar yang telah dituliskan Tuhan.
Dalam sebuah tugas besar, dalam sebuah perang liar misalnya, segala hal bisa saja terjadi. Seseorang mencabut pedang dari sarungnya. Bersikap seperti pencabut nyawa. Mencabut nyawamu yang, ketika seharusnya malaikat itu mencabut pengecut yang kabur dan berlari bersembunyi di balik semak-semak.
***
Kebosanan saya lahir semata-mata karena saya manusia. Sampai kalimat ini ditulis, begitulah saya percaya.
***
Seekor nyamuk mendarat mantap di kening saya.Â
Saya menunggu dan saya meratap. 60 menit berlalu, saya masih hidup menunggu. Seperti jomblo yang menunggu balasan pesan singkat gebetannya nongol.
Sementara perut nyamuk sialan itu, di kening saya, kadung penuh dan buncit. Ia terbang sempoyongan setelah kenyang. Mungkin mabuk. Saya menepuknya, dan ia mati.