Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Jatuh di Samarinda: Menunggu Kau Tua di Kepala

28 Februari 2016   01:05 Diperbarui: 28 Februari 2016   01:29 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat malam, Lis. Samarinda, 24 februari 2016. Pergantian musim yang kawin dengan tanggal-tanggal hitam-merah sudah melahirkan apa saja buatmu? Tak ada hal baru dan berarti yang kualami akhir-akhir ini. Mau tak mau, aku harus menyadari hal itu....

Pagi hari aku melaluinya seperti kebanyakan orang, siang dan ketika hari hampir sampai di ujung, aku pulang seperti cecunguk mengikuti rombongan burung, mencari tempat untuk berlindung, tidur dan menepi. Betapa aku sama sekali tidak menginginkan hal semacam itu terjadi, tapi kau tahu, aku harus melakukannya. Meskipun aku tahu, seharusnya, aku tidak melakukan hal-hal yang tak kusuka. Seharusnya...   

Barangkali, Lis.... Di suatu tempat nun jauh (kau tak perlu memikirkannya) ada seorang cecunguk yang tengah depresi malam ini, duduk di depan balai rumahnya. Ia merasa melalui hari-hari buruk semasa hidupnya, melakukan hal yang sama sekali sama setiap hari. Ia tak memiliki rencana yang cemerlang untuk esok maupun masa depan. Besok ia akan pergi ke kantor, menghadap benda kotak sampai sesorang lain memberikan aba-aba saatnya pulang ke rumah. Dan ia kelelahan dan ia tertidur dan ia mimpi buruk. Selamat menikmati.

Sekarang ini, aku duduk di teras rumah. Di samping kiri ada secangkir kopi yang khusuk sekali menguap. Di samping kanan ada sejumlah rokok di dalam bungkus dan sebuah asbak. Mungkin kau mengira kalau aku sedang menunggu sesuatu. Kau tidak sepenuhnya salah! Aku memang sedang menunggu. Menunggu kau tua di kepalaku. Barangkali ada baiknya, ya, kalau aku buat sebuah pengakuan: bahwa waktu cepat sekali berlalu. Seperti sebuah kereta yang melaju yang masinisnya tertidur pulas. Kurasa begitu. Sementara, aku adalah satu-satunya penumpang yang duduk-duduk saja di sebuah gerbong dekat pintu menatap kaca jendela. Seorang yang tidak memiliki cukup keberanian lebih untuk membangunkan masinis sialan itu. Lagipula, aku pikir, mungkin lebih baik begitu. Maksudku begini: ketika ia tertidur dan aku tahu ia sedang mengalami mimpi buruk mungkin aku akan berusaha mengakhiri penderitaanya dengan cara membangunkannya. Tapi bagaimana kalau sebenarnya ia sedang mengalami mimpi indah? Bukankah aku akan merasa bersalah, sementara ketika ia dianggap ada, ia begitu banyak sekali melalui hari-hari buruk dan dipersalahkan banyak sekali orang. Ia tengah mimpi indah lalu aku membangunkannya? Yang benar saja!

Jadi kupikir lebih baik begitu.

Aku akan duduk saja di dekat jendela, menatap gunung-gunung, taman bunga, sebuah desa, area pesawahan, lingkungan kota yang menyebalkan, dan berusaha menikmati sebuah lorong gelap yang panjang, seolah tiada akhir, seolah aku berada di sebuah hunian. Mungkin di sebuah liang, tanpa berusaha mengingat apa-apa yang pernah kulihat. Ketika merasa bosan, mungkin aku akan mengambil tas yang kuletakan di rak atas dan mengeluarkan beberapa buku; membacanya, dan ketika bosan itu lebih membosankan dari apa yang kupikirkan, mungkin aku akan memutusakan mengikuti perlakuannya: tidur.  

Baiklah. Baiklah. Aku menyerah. Kau mungkin tahu, kalau aku adalah lelaki yang selalu gagal melakukan hampir segala hal. Katamu, aku selalu memikirkan peluang dan pada akhirnya aku memainkan peluang, yang ketika aku memainkan itu, justru mereka mempermainkanku. Itu salahku, memang. Barangkali juga aku harus buat pengakuan yang kedua: bahwa aku masih menganut paham pesimistik. Aku bahkan merasa menyesal ketika memulai segala hal. Seperti menunggumu dan aku melakukannya, meskipun, kupikir aku akan menyesal. Sepenuhnya.  

Tapi kau jangan sedih hanya karena aku adalah seorang pesimistik yang baik. Jauh di dasar jiwaku, meyakini-yakini diriku sendiri, bahwa, kelak, kau akan kembali. Kedua, aku terus berusaha menyakin-yakini diriku sendiri bahwa menunggumu bukanlah melakukan hal yang tak berguna maupun sia-sia. Setidaknya, itulah yang dicontohkan Sisyphus keparat itu padaku. Ia dikutuk memanggul sebuah batu, memindahkannya dari lereng ke puncak gunung, dan ketika batu itu telah dipastikan sampai, justru bergulir kembali ke lereng. Sabar sekali ia mengerjakan kutukannya setiap hari. Mungkin ketika kau melihatnya, Lis, Sisyphus, tengah mengalami penderitaan yang panjang karena melakukan hal yang sia-sia. Tapi, kumohon, coba kau membayangkannya, jika ia melakukan hal itu dengan bahagia. Kurasa, sebesar itulah aku berbahagia. Kurasa, sesabar itulah aku menunggumu dan berkata: aku akan menunggu sampai kau tua di kepala.     

Samarinda 24-27, Feb 2016. | ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun