/1/Â Ibu, aku ingin cantik
Kau anak kami, jangan begitu..
Baiklah. Aku mau ganteng, Ibu
Ganteng milik Yusuf. Dan Yusuf adalah Nabi
Kalo begitu, jadikan aku Nabi
Ibu bisa, jika Ibu adalah tuhan
Dan jika ibu tuhan, itu artinya, kau tak punya ayah, nenek dan kakek dan saudara. Kau mau bermain perang-perangan dengan siapa? Jadilah kau anakku,
kami menyayangimu, semua kekuranganmu..
/2/
Saya sudah agak besar dan berhenti mengagetkan ibu yang memasak di dapur ketika sepulang dari sekolah dasar. Ibu adalah koki di rumah kami. Masakannya enak. Kata ayah, ibu suka dipuji. Kata ibu, ayah yang suka memuji. Kataku, mereka seperti perasaan yang saling menguatkan. Ayah menguatkan perasaan ibu saat kebutuhan macam cicilan yang menagih hutang tujuh kali sehari dalam sepekan, dalam sebulan, dalam setahun dan dalam hidup kami. Ibu menguatkan perasaan ayah dengan doa-doanya. Saya sedih mendengar doa ibu setiap hari.
/3/Â Pagi itu saya melihat ayah duduk di samping kopi, di halaman depan rumah kami. Ayah tengah membaca koran. Koran lama yang sama. Setiap hari itu-itu saja yang beliau baca. "Kenapa ayah tidak membeli koran yang lain?" tanya saya yang baru saja keluar dari dalam ruang tengah membawa sekotak kue. "Terbitan teranyar?" tanyanya balik. "Apa bedanya? Toh isinya juga itu-itu saja. Sama. Seperti korupsi yang setiap hari lewat wara-wiri."
Kau tahu, itulah sebabnya, sampai saat ini saya masih mengganggur. Sebab lowongan kerja yang saya baca di kora juga, itu-itu saja.
Tak apa, kata ibu suatu ketika. Saya adalah anak satu-satunya milik mereka. "Ibu dan ayahmu, bisa melihat kamu jadi guru ngaji saja sudah sangat bahagia."
"Tapi, Bu," saya menimpali. Ibu kembali cermat memeras handuk kecil hangat untuk mengompres kening saya karena demam (Dan pusing memikirkan usaha: bagaimana saya bisa benar-benar membahagiakan mereka)
/4/Â "Tapi, Bu," kali lain saya menimpali ucapannya lagi. Ketika itu ibu yang tengah dihadang sakit. Ibu meraih airputih dan menelan beberapa pil warna-warni. Saya menunggu beliau selesai menelan kepahitannya lagi dan lagi. Sesudah itu ibu tersenyum. Oleh dokter, beliau diduga dan didiagnosa memiliki penyakit gula (diabetes). Dan kau tahu, semenjak itu, senyumnya semakin manis saja. Ah ibu..
Ayah telah lama pergi. Tapi beliau tidak pernah meninggalkan kami. Meninggalkan hati kami.
"Memangnya kau mau jadi apa, anakku? Dokter komputer, pengusaha komputer atau pegawai komputer?" tanya Ibu lalu.
Ohya, saya belum bercerita jika saya adalah Sarjana Teknik Informatika. Saya bisa memperbaiki tak lebih banyak gangguan dalam komputer. Membuka toko reparasi di rumah kami, dan kadang seorang teman tak jarang memerlukan bantuan saya untuk menjual komputer miliknya kepada pelanggan saya. Saya adalah pegawai sekaligus bos dalam usaha saya sendiri. Untuk itu saya sama sekali tidak menginginkan apapun soal pemikiran ibu. "Aku mau jadi Ibu," kata saya pada Ibu.
"Maksudmu?"
"Aku mau jadi Ibu, dan ibu jadi anakku, supaya aku bisa membalas kasih sayang ibu padaku."
Ibu hanya tersenyum manis sekali..
__
Samarinda, 30 Januari 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H