Suratmu telah sampai. Aku membacanya dengan penuh minat. Agaknya kau sedang berusaha membuat heboh. Aku memahami isinya, tentu saja. Selain itu, memberi istilah yang tepat untuk menggambarkan isi dalam suratmu itu adalah hal yang sangat komikal.
Kau menulis banyak hal dan aku sangat terpengaruh banyak hal ketika membaca suratmu. Seolah-olah kau sedang menulis kisah dokumenter hidup kita, hidup kita berdua, sementara kau sama sekali tidak memerlukan teman ataupun seorang kolega untuk menemanimu menuliskan kisah itu. Karena, ya, tentu saja kau mengingat semuanya. Sementara temanmu duduk sambil mengemil popcorn dan membaca kisahmu sambil tergelak-gelak.
Lucu sekali bukan? Ada beberapa hal yang membuatku garis miring temanmu meyakini suratmu itu sungguh sekali lucu. Pertama, kau mengawali semua kalimat dalam suratmu dengan kata Kau tahu. Persis sekali seperti kalimat memberi tahu, padahal sekalipun aku tahu setelah apa yang kau beri tahu, aku bisa apa? Misalnya dalam kalimatmu tertulis:
Kau tahu, I. Pagi ini hujan turun lagi, mencium bumi. Lama sekali. Hingga malam. Aku membayangkan, hujan dan bumi seperti sepasang kekasih yang lama tak saling bersua, dan berciuman dan membuat apa saja basah. Ketika orang-orang (mungkin sepertiku) melihatnya, jadi iri. Jadi rindu. Jadi ingin bertemu denganmu dan berciuman di bawah hujan itu.
Aku mengerti maksudmu, tapi apa yang bisa kulakukan? Menyewa jasa pawang hujan supaya mereka tidak bisa saling berciuman di hadapanmu, begitu? Atau aku harus naik helikopter dan menaburi awan dengan berton-ton garam? Kau sungguh lucu, tahu....
Rindukah kau, Lis, denganku? Aku pun memikirkanmu setiap saat. Ampuni aku jika tak setiap hari sekali, aku tak bisa mengirimimu sebuah puisi. Dengar, Lis..., ketika kau bicara masa depan di hadapanku. Aku mendengarmu. Sementara itu, aku bicara masa depan di hadapan Tuhanku, denganmu. Aku merayuNya dan menuliskan puisi untukNya.
Dan hal kedua yang membuat suratmu terasa lucu adalah, setelah kau mengawali kata Kau tahu dan mengakhiri dengan menghubung-hubungkannya, dengan kalimat-kata Kau ingat. Aku mengernyit sebentar setelah mengakhiri jeda dengan tertawa, karena jelas saja aku tidak mengidap penyakit insomnia, maksudku leukimia, oh bukan tapi amnesia. Seperti dalam tulisanmu:
Kau ingat, I? Kita pernah berjanji untuk tidak saling berjanji. Apapun. Karena katamu, kita ini adalah golongan mahluk Tuhan yang paling handal soal menagih janji. “Jadilah hujan,” katamu lalu sambil menunjuk jalanan lenggang basah itu, “mereka turun tidak menagih apapun, selain memberikan ketentraman dan kedamaian.”
Kalau begitu, Ii. Aku ingin tubuh ini tumbuh, damai dan tentram di tubuhmu yang tak seimbang itu.
Terimakasih, Lis. Aku gemetar mendengar kata-katamu.
Ohya, Ingatanku masih cukup baik. Aku bahkan mengingat semuanya. Aku berkata demikian, hanya karena tidak ingin, kelak, kita berdua saling berdusta. Sementara ini aku sedang memikirkan cara lain supaya ibu dan ayahmu menyukai puisi.