Oh, Lis...
Jangan jadikan saya ini pertapa
yang menunggu waktu
kesuciannya menerima wahyu.
Sebab, saya tidaklah setenang-tenangnya tabah-rasa sakit
yang terus-terusan menjerit.
“Tapi, aku ini batu,” katamu.
Ya, Lis, jawabku.
Saya tahu kamu itu batu
; yang dikutuk menjadi manusia.
Tapi, Lis...
Jangan jadikan saya sepasang kaki yang terluka,
yang terkilir karena melewati sebuah batu,
ketika kau di sana.
Setiap malam
saya sering kesakitan
mengobati kaki-kaki saya yang cidera
ketika membasuhnya dengan air hujan dan airmata.
Dan ketika itu hati saya selalu tercenung mempertanyakan
: mengapa hujan dan airmata belum juga
membuat hatimu yang keras itu luluh.
Meskipun sementara waktu.
Dan ketika semuanya benar-benar tak bisa diubah.
ijinkan saya tetap mencintaimu,
yang terus-terusan aduh ketika melewatimu.
__
Samarinda, 20 Januari 2016. | pic
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H