Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hal-hal yang Terjadi Ketika Kamu Pergi (12)

13 Januari 2016   18:34 Diperbarui: 13 Januari 2016   19:01 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kalau begitu. Ajari aku cara menulis puisi, cerpen dan novel,” katamu antusias.

“Aku tidak punya cukup banyak waktu, untuk menjelaskan itu semua padamu. Bahkan untuk memberitahumu, apa itu typo, pov 1, 2 dan 3, dan...,” Ia tidak melanjutkan. Ia menyesal telah memberi saran semacam itu padamu. Dan ia pun pergi begitu saja, seperti pembeli buku-bukunya ketika menyadari buku itu sama sekali tidak menghibur ataupun menginspirasi, justru hanya membuat mereka—pembeli—berpikir, ‘sungguh buku diary yang menyedihkan sekaligus malang.’

***

Hari-harimu kini diisi hal-hal yang lebih berguna; sesekali menengok rindu; ke tempat-tempat itu. Membeli buku-buku; untuk menulis-mengabadikan kenangan-kenanganmu. Kau mengajukan surat pengunduran diri, mengajukan lamaran kerja sebagai loper koran. Meski mendapatkan upah yang tidak terlalu banyak, tapi aku lebih memiliki banyak waktu membaca buku, pikirmu. Bulan-berganti bulan, tahun terus menimpali tahun. Kadang-kadang ketika kau kekurangan uang untuk membeli buku bacaan, untuk alasan itu kau pergi ke perpustakaan daerah. Meminjam beberapa buku, lalu membawanya ke tempat yang menurutmu menarik untuk menyebutnya tenang; adalah sebuah taman. Dan di sanalah kalian dipertemukan—bukan bertemu. Sebab kata kau dalam hati, kami ‘dipertemukan’ diluar rencana, karena ‘bertemu’ selau saja ungkapan yang tepat untuk mengunjungi taman sebagai tempat berkencan.

Kau melangkah mendekatinya namun yang terjadi kakimu malah berjalan menjauh. Kau mencari tempat yang rapat untuk sembunyi supaya ia tidak bisa melihatmu dan kau bisa memastikan dengan siapa ia akan berkencan di taman ini. Lalu mengintipnya ketika kau mulai membaca buku. Kau melemparkan sauhmu tidak jauh dari tempat itu. Kau akan menunggunya di sana seperti kapal yang tenang sambil menikmati cicit burung-burung camar, langit-langit, dan wajahnya yang cantik.          

Siapa yang ia tunggu? Kau mulai berspekulasi. Kenapa ia menangis? Kau mulai bermonolog lagi. Apa teman kencanmu tidak bisa hadir senja ini? Ayo, katakan apa yang membuatmu menangis? Orang-orang yang berlalu lalang di taman ini mungkin tidak peduli lagi padamu, namun bukan berarti kamu sudah tidak terlihat cantik atau menarik lagi. Di mataku, kamu tetap terlihat menarik, mungkin mereka hanya tidak bisa melihatmu. Tapi aku masih bisa melihatmu sedih. Seseorang yang bersedih, tentu saja membutuhkan pundak untuk bersandar, untuk menopang kesedihannya. Katamu mengakhiri pembicaraan pada dirimu sendiri.

Kau ingin sekali berteriak untuk mencuri perhatiannya, tapi ketika kau berpikir-pikir lagi, mereka—orang-orang di taman ini—pasti menganggapku gila, katamu dalam hati. Namun akhirnya kau pun berteriak padanya, “Jangan sedih, jangan menangis. Sini..., di sini ada pundak yang empuk, bersandarlah!”

Ia menoleh.

__

Samarinda, 13 Januari 2016. | pic 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun