Hari ini saya lemas sekali. Saya telat makan. Saya juga lelah. Melihat orang itu yang begitu sabar. Kau tahu, kesabarannya membuat darah saya mendidih. Percuma saja membuat kesal, membuat onar. Sia-sia. Semakin saya melakukan hal-hal yang dia tidak suka, matanya semakin bercahaya. Menyala bak mutiara.
Dulu, saya sering berteduh di balik mata itu. Matanya begitu rindang, teduh dan menghanyutkan. Pertama saya singgah dalam mata itu. Singkatnya terjebak. Saya belum bisa lepas. Matanya seperti ranjau. Dan di dalam ranjau itu saya seperti raja yang sedang bertamu dengan semua pejamuan yang saya inginkan. Ranjau yang menyenangkan.
Saya sudah lama tidak berkerja. Kau boleh sebut saya pemalas. Terserah. Intinya pendapatan Sang Mata itu cukup untuk keperluan hidup kita sehari-hari. Oia, Sang Mata itu, Istri saya. Ia seperti bidadari yang dikirim Tuhan untuk menyempurnakan hidup saya. Sebagai guru ngaji, ia tak mendapatkan gaji. Tapi atas kesadaran santri-santrinya ia selalu diberi upah. Kau tau 'lha, ilmu memang mahal. Apalagi soal pembentukan moral manusia. Yang nantinya menentukan surga atau neraka.
Menikah dengan Ratri merupakan mimpi. Mimpi yang pelan-pelan bagun dan menjadi kenyataan. Dan kenyataan itu mengubahnya menjadi kutukan bagi saya. Awalnya saya percaya, lima tahun, mungkin Tuhan belum percaya menitipkan momongan buat kami. Hingga sepuluh tahun berlalu, saya divonis mandul oleh dokter. Dari situlah kutukan pelan-pelan mengetuk mimpi saya.
Sempat berpikir ingin menceraikan Ratri dengan berpura-pura selingkuh dan melakukannya tanpa pura-pura. Saya hanya mau, Ratri, menikah dan memiliki anak seperti teman-temannya. Tapi, lagi-lagi mata itu, ah mata itu. Tak mampu jika saya menatapnya dalam-dalam.
Saya lelaki gagal memberikannya keturunan. Pernah satu waktu Ratri mengusulkan untuk memungut anak yatim tetangga sebelah. Tapi saya tolak. Alasannya, tidak ada alasan. Ratri mengangguk saja, ia adalah istri yang berbakti.
Hidup berdua membuat rumah kami begitu sepi. Lebih sepi dari puisi yang ditinggalkan diksi, lebih sepi dari rumah kuburan yang tidur sendiri-sendiri --yang hanya mampu memeluk amal dan dosa ketika di dunia.
Ratri orangnya pendiam, ia hanya mengucapkan apa yang menurutnya diperlukan, begitu pun saya. Dan dua orang introvert tidur di atas ranjang. Tanpa kata hanya senyuman. Tiap malam dan malam. Pernah, satu waktu Ratri menanyakan pada saya mengenai kesibukan saya akhir-akhir ini.
"Sudah dua minggu ini, Ratri, perhatikan Mas Jo begitu sibuk."
Saya diam. Berbalik badan. Sudah lama saya dan Ratri tidur saling berpunggungan, barangkali ini cara kami untuk menyindir Tuhan: agar Tuhan berbelas kasih memberikan momongan dan di letakannya di antara tengah-tengah kami supaya terus berhadapan memperhatikan si bayi.
"Mas, kalo nanti kita berdua meninggal, siapa yang akan mengirimkan doa buat kita ya?"