[caption id="attachment_374921" align="aligncenter" width="402" caption="abignono.files.wordpress.com"][/caption]
*
1/
cukup saja kau tahu. doaku ialah peluru, masuk tengah malam. pelatuk ini akan kutekan. Lalu tembuslah dadamu. Ia akan masuk perlahan. bukan peluru sungguhan, melainkan peluru yang terbuat dari rindu
--yang lebih menyakitkan dari seribu gurindam --yang lebih tenang dari air dalam. lekas itu sang peluru menjelma jadi *luh.
2/
padamu ialah erangan, pada tumpuk-tumpukan rindu dan sepi, yang kian saling sikut. "Minggir!" "kau saja yang di pinggir."
lalu mereka saling peluk. bahkan ketika tubuh mereka bersentuhan, kesepian dan kerinduan tak mampu selamatkan aku mengerang tiap malam. Dan sepi dan rindu, tidur saling berdesakan, mememeluk keputusan Tuhan.
3/
Lalu, katakan pada saya. Rindumu sudah seperti apa? punyaku? Masih sama, sama sekali tidak berubah seperti dulu. Lalu katakan juga, jika rindumu sudah rusak. Jika iya. Nanti saya perbaiki. Nah, untuk sementara waktu, bawa dulu rinduku ini pulang ke rumahmu. Tak perlu sungkan,
"ini ambillah!"
4/
bagi saya, yang kau perlukan untuk mengawetkan rindu ialah perpisahan. Barangkali, dan yakini saja: rindu akan terus awet muda, pada doa-doa yang kau tampung dengan luka.
5/
Katakan pada saya satu hal saja:
jika malam ini kau susah tidur.
sudah! kau tak cukup pintar untuk membohongiku, Rindu.
sebentar, ... oh, ini sudah.
Eum, "ini saya belahkan bulan untukmu. Sekarang tidurlah."
*) Luh dalam bahasa jawa ialah airmata
Samarinda, 26 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H