[caption id="attachment_372943" align="aligncenter" width="316" caption="pixabay.com/id/photos"][/caption]
*
:untuk, Nun
Jika saja ada cara yang begitu elegan
untuk mengingat kesedihan.
Saya pikir: sebuah sajak
yang dibuat, dan disulam
dengan mengenang kebahagian
adalah jawaban
namun, saya tahu, elegan bukan caramu hidup.
Dan, caramu mencintai
Kamu lebih sederhana
dari hujan tanpa airmata
kemarau tanpa risau
dan pergi, tanpa mau tengok kembali.
Ada yang lebih rapi. Ketika kamu melipat-lipat
jari-jari
nampak malu,
"Iya, aku mau," katamu yang masih malu-malu.
Pipi-pipimu berubah merah jambu.
Aku melihatmu...
kita sepakat. Mengikat cinta
laiknya kepiting terjerat jala
tak bisa kemana-mana.
"Satu waktu, ketika nelayan yang
bertindak sebagai Tuhan
melepaskan jeratan,
kita," katamu tersedu,
"kamu tak perlu cemas.
Sebab, Nelayan selalu bertugas
menjala
tanpa kenal pilih tangkapannya."
Nun, dalam sajak ini. Ada yang
mau saya katakan
bukan. Tapi, saya tanyakan:
apa sang Nelayan begitu sibuk?
hingga lupa menjala, saya?
Tahu, Nun!
aku kesepian
laiknya imam, tanpa makmum.