[caption id="attachment_371166" align="aligncenter" width="614" caption="www.azamku.com"][/caption]
-
Entah kenapa, malam ini
ingin sekali kubuatkan puisi untukmu, Karolina
Puisi yang paling tidak seperti,
para penyair puisikan
kebanyakan
; senja yang ranum lambang kesedihan
hujan yang selalu bercerita perihal kenangan.
Atau puisi ada, karena ketiadaan.
Sabtu ini, Karolina
tiga pekan sudah, Ayah di kota
di mana mimpi dan harapan
digantung seperti jemuran
Kemarin,
Jum'at pagi, sebelum timur melepaskan-kurungan matahari.
Ayah sudah dapatkan antrian.
Urutan, tujuh puluh delapan
Antrian yang panjang, bukan?
tak mau buang waktu saat menunggu --percuma melamuni kegagalan
berulang-ulang di tolak perusahaan
Ayah buat puisi ini
meski, baru setengah jadi.
Orang tujuh puluh enam keluar,
melata seperti ular.
Gagal.
Alasannya, katanya, ia hanya lulusan SMA.
Dua puluh menit berlalu,
urutan tujuh puluh tujuh.
Ia keluar dengan mimik muka biasa saja
mungkin, Ia diterima
atau
mungkin, biasa tahu rasanya
ditolak, tanpa alasan.
Entahlah...
Gantian Ayah yang masuk
melangkah penuh degup
Di dalam ruang wawancara
ada seorang perempuan cantik berkulit putih angsa
rambutnya menjontai melambai-lambai,
memanggil namamu,
"Karolina," kata perempuan itu.
Lalu, perempuan itu,
menyuruh Ayah menggambar pohon yang bisa-bicara
Ayah jadi ingat
pahatan nama Ibumu,
yang kamu buat, dengan pisau lipat,
"besok kalau Ibu pulang, pohon ini yang akan bicara pada Ibu. Betapa menyakitnya sekat-sekat yang aku pahat padanya, karena menunggu lama," katamu.