Muara gaya hidup konsumtif
Kebiajkan penerapan kantong berbayar serentak di 22 kota besar di Indonesia mulai dilaksanakan pada tanggal 22 februari 2016, cukup menuai tanggapan. Meski masih terbilang uji penerapan kebijakan, sejak awal tahun 2016, pemerintah disibukkan dengan pembuatan regulasi dan pengesahan mengenai kantong plastik berbayar. Kenapa semua orang tampak panik, sontak kantong berbayar menjadi sebagai pembahasan. Apa karena 200 perak atau karena kebergantungan kita terhadap kantong plastik dalam kehidupan sehari-hari, ada apa dengan kantong plastik ?
Mari kita mulai diskusi ini pertama-tama dengan mencari akar permasalahannya. Melihat relasi antara pemenuhan kebetuhan manusia dan permasalahan kantong pelastik berbayar. Kantong plastik, sederhananya berfungsi sebagai wadah penyipanan barang belanjaan, secara konotasi, kantong plastik  bisa juga bermakna sebagai perayaan atas gaya hidup berbelanja. Dalam kajian-kajian mendalam filsafat tentang prilaku dan kesadaran manusia, konsepsi teoritis akan senantiasa mempegaruhi konsepsi prilaku. Begitulah adanya. Sederhananya, semua menyepakati bahwa setiap tindak prilaku manusia selalu didorong oleh pengetauan tentang sesuatu. Sama halnya dengan budaya berbelanja, seolah menjadi ladang persemaian yang makin hari makin subur.
Dalam era kapitalisme lanjut, konsumerisme merupakan corak prilaku gaya hidup modern yang tumbuh subur pada masyarakat perkotaan. Dimana nilai-tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, pretise, ekpresi gaya dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif dan ciri utama aktivitas konsumsi pada sebuah masyarakat modern. Peralihan/transisi dari mode of production kini telah berganti oleh mode of consumption (Barthes, 1995). Melalui komoditas-komoditas itulah seseorang menemukan makna dan eksistensi dirinya. Lanjut, menurut Boudrillard dalam Medhy (2012), fungsi utama objek-objek konsumen bukanlah pada pemanfaatan melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai simbol atau nilai tanda. Yang kemudian digembor-gemborkan melalui iklan-iklan gaya hidup di berbagai media yang berfungsi sebagai penggoda untuk terus berbelanja, untuk terus mengkonsumsi. Secara tidak sadar, konsumsi telah menjadi seperangkat sistem klarifikasi status, prestise, bahkan tingkah laku masyarakat.
Apa yang salah dan apa yang menjadi efek dari fenomena tersebut. Pertaman, adalah tak lain adalah produksi industri secara massal yang memakan begitu banyak beban energi dan buangan karbon Â
dari proses produksi tersebut yang menambah beban polutan pada bumi. Kedua, ketidak seimbagan antara jumlah limbah yang dihasilkan dan penerapan kebijakan penghijauan, yang terjadi adalah bumi perlahan menjadi tumpukan sampah. Ketiga, tidak adanya kontrol berbelanja yang kian hari kian jadi dan terus menerus meningkat tanpa diimbangi dengan program-program edukasi tentang pengelolaan sampah. Yang terjadi adalah persoalan sampah yang menumpuk seolah hal lumrah dari perkembagan era modernitas.Â
Dalam era masyarakat kapitalisme lanjut, para produsen berloba-loba mencetak produk dan kemudian membanjiri pasar tanpa memperhitungkan sisi ekologis dari hal tersebut. Era serba instant menjadikan kantong plastik sebagai kemasan ataupun bungkusan yang berakhir pada limbah-limbah rumah tangga, menumpuk dan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk bisa terurai. Hal yang cukup mengerikan bagi saya adalah fakta tentang, bahwa setiap limbah plastik yang kita hasilkan masih menumpuk dan terus berputar di bumi selamar ratusan tahun sementara kita sebagai pengkonsumsinya, telah meninggal. Ironis bukan!.
Perdebatan tentang kresek berbayar
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Surat Edaran Nomor S.1230/PSLB3-PS/2-16 tertanggal 17 Februari 2016 akhirnya menetapkan kebijakan kantong plastis berbayar yang diuji coba mulai tertanggal 21 Februari hingga 5 Juni 2016 mendatang. Meski terbilang telat jika melihat Negara-Negara tetanggga yang telah memulai dari beberapa tahun lalu. Hal ini kedepannya mungkin akan mengalami peberubahan setelah dievaluasi pemerintah, pemerintah daerah dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dalam tiga bulan masa uji coba.
Kebijakan ini tentu berdasar, jika melihat fakta tentang limbah dan pengelolaan sampah di Indonesia. Mari kita hitung sejenak dengan menggunakan asumsi, jika sampah yang dihasilkan per invidu setiap harinya rata-rata sebesar 0,8 kilogram, kemudian kita kali dengan jumlah populasi warga kota Bandung yaitu 2,4 juta jiwa (Portal KBR, 2015), artinya sampah plastik setiap hari yang di hasilkan bisa mencapai angka 1. 920 ton perhari. Wow, cukup mencenangkan. Mari kita hitung lagi dari sisi lain, data pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia yang mencapai angka 32.000 gerai. Jika potensi sampah kantong plastik dari setiap anggota asosiasi tersebut dihitung secara keseluruhan, maka jumlahnya bisa mencapai 9,6 juta lembar perhari. Jumlah ini jika diakumulasikan dan dihamparkan, mampu menutupi seluruh permukaan Kota Bandung. Wow lagi, mencenangkan bukan. Bagaimana dari, toko-toko, kios-kios di pasar, PKL, rumah tangga, dan lain-lain? Tentu luar biasa banyaknya.
Deregulasi dan Penerapan Produk Berbasis Green Design