ASEAN Economic Community (AEC) atau lebih kita sering dengar dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), adalah sebuah integrasi ekonomi negara-negara ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antar negara ASEAN. AEC ini akan berlaku pada tahun 2016, yang dimana hanya menghitung hari dari hari ini. Pertanyaannya sudah siapkah Indonesia menghadapi tantangan ini?
Melihat dari jumlah penduduk di Indonesia, bisa dikatakan negara kita ini hebat, karena jumlah penduduknya mencapai sekitar 250 juta orang dengan jumlah usia produktif yang sangat banyak untuk jangka waktu 10 tahun mendatang. Hal ini sering disebut dengan bonus demografis yang baik. Tetapi apakah dengan bonus demografis secara kuantitas ini seimbang dengan kualitasnya?
Human Development Index menunjukan bahwa Indonesia berada di peringkat 108 dari 130 negara, dan menurut Global Talent Competitiveness yang di release INSEAD, kita berada pada peringkat 86 dari 93 negara. Hal ini menunjukan bahwa kita masih sulit bersaing dalam high quality job. Jangankan dalam konteks global, dalam konteks bersaing di negara ASEAN pun kita masih dibawah negara Singapura, Malaysia, dan Thailand. Potensi yang kita miliki jauh lebih besar dibanding negara-negara. Apabila semua penduduk dari ke-3 negara tersebut digabungkan pun, kita masih lebih unggul. Tetapi kenapa kita tidak bisa lebih baik dari negara-negara tersebut?
Faktor yang membuat kita tidak dapat berkompetisi dengan baik adalah faktor kualitas human capital nya. Dalam persaingan yang semakin luas antar negara ini, yang terjadi adalah persaingan human talent nya. Negara yang memiliki talent dengan kualitas yang baik tentu akan dapat berkompetisi dan menang dibandingkan negara yang memiliki low quality talent.
Pemberlakuan AEC yang hanya tinggal menghitung hari ini, tentu negara-negara ASEAN akan dipenuhi dengan pekerja-pekerja yang bukan dari negaranya. Artinya siapapun bebas berkompetisi dalam hal pekerjaan di negara ASEAN. Masalahnya, bentuk pekerjaan seperti apa yang akan dibanjiri oleh orang Indonesia di negara tersebut? Apakah negara-negara ASEAN akan dibanjiri oleh high quality talent dari Indonesia, apa justru dibanjiri oleh yang low quality talent?
Mengutip perkataan dari Handry Satriago, CEO GE Indonesia, “Low quality global talent will only get low quality job, low paid, and low influence in decision making”. Hasil studi dari Boston Consulting Group (BCG) dikatakan bahwa Indonesia memang kekurangan talent pada level high and medium quality job. Jadi jangan heran apabila nanti ketika AEC sudah diberlakukan, akan banyak posisi high and medium quality job yang diisi oleh bukan orang Indonesia. Dan jangan heran pula apabila nanti melihat banyak orang Indonesia menempati posisi low quality job di negara orang. Mengapa hal ini dapat terjadi? Mengapa banyak sekali low quality talent di Indonesia ini?
Berkaca dari negara yang memiliki daya saing global talent tertinggi, yaitu Switzerland, mereka memersiapkan talent mereka dari usia sedini mungkin dengan memberikan kualitas pendidikan yang sangat baik. Kita sadar bahwa memang sistem pendidikan kita perlu banyak diperbaiki. Tetapi apakah memang hanya dari segi pendidikan yang baik sajakah untuk dapat menciptakan global talent yang baik? Bagaimana dari sisi nutrisi?
Nutrisi yang baik tentu akan sangat menunjang penyerapan knowledge yang baik. Saya mengibaratkan bagaimana bisa mesin 2000cc mengalahkan kecepatan mesin Formula 1? Tentu dalam hal ini kapasitas penyerapan informasi juga harus diperbaiki untuk dapat bersaing. Saya memang bukan ahli nutrisi tetapi hal yang dapat memperbaiki atau membuat kapasitas otak lebih baik adalah dengan konsumsi protein yang baik. Memang di Indonesia lebih terkenal makan nasi (karbohidrat) dibandingkan dengan makan daging atau sumber protein lainnya.
Data dari WHO menunjukan bahwa Indonesia itu berada pada posisi nomer 4 di dunia terkait kasus glucose/diabetic tertinggi. Hal ini dikarenakan konsumsi gulanya yang memang luar biasa (dalam hal ini konsumsi nasi). Memang konsumsi beras kita itu mencapai 140kg/kapita/tahun dan itu masih jauh diatas Vietnam, Thailand, dan Malaysia yang berada pada 65-70kg/kapita/tahun.
Sedikit keluar dari konteks dan masuk ke konteks ekonomi dan perdagangan sedikit, let’s do the easy math, apabila kita dapat menurunkan konsumsi beras dari 140kg/kapita/tahun ke 100kg/kapita/tahun saja, itu artinya 40kg/kapita/tahun dikalikan dengan 200 juta penduduk di Indonesia, 8 juta ton kita bisa hemat. Kita import beras itu sampai 3 juta ton. Dengan penghematan ini tentu matematikanya kita bisa eksport beras 5 juta ton. Jadi tidak lagi bergantung pada import beras.
So, untuk dapat memperbaiki ini dan menciptakan human capital yang lebih baik, mungkin konsumsi karbohidrat (terlebih nasi) dapat dikurangi dan tingkatkan konsumsi protein untuk dapat memberikan nutrisi ke otak yang lebih baik. Saya ambil contoh, di German konsumsi protein, khususnya daging mencapai 50kg/kapita/tahun, sedangkan Indonesia hanya 2,1kg/kapita/tahun. Mungkin karena ini orang German bisa bikin BMW, Porsche, Mercedes Benz, Volkswagen, dll.