Mohon tunggu...
Andityo Triutomo
Andityo Triutomo Mohon Tunggu... -

Civil Society

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Perlukah Indonesia Meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control)

4 Mei 2014   20:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:53 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Konsumsi rokok di Indonesia sangat besar bahkan Indonesia sudah masuk tiga besar Negara di dunia dengan konsumsi rokok terbesar. Konsumsi rokok di Indonesia sudah mencapai 305 miliar batang pada Tahun 2012. Para perokok tersebut juga termasuk kalangan remaja/anak-anak. Perokok pemula remaja usia 10-14 tahun naik 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir dari 9,5% pada tahun 2001 menjadi 17,5% pada tahun 2010. Sedangkan remaja 15-19 tahun sudah mencapai 43 % artinya satu dari 2-3 remaja adalah perokok. Pada golongan dewasa 1 diantara 3 orang dewasa adalah perokok. Dengan 305 miliar batang rokok tersebut jika dibagi ke setiap orang di Indonesia termasuk bayi akan dijejali 1.250 batang rokok per tahun.

Hal ini tentu menjadi masalah yang besar terhadap kesehatan masyarakat.Tentu potensi akan penyakit yang ditimbulkan rokok akan terus meningkat apabila tidak ada pencegahan.Ada beberapa macam cara untuk mencegah / menekan jumlah perokok.Salah satu cara yang dibuat oleh WHO (World Health Organization)untukmencegah / menekan jumlah perokok adalah dengan cara membuat sebuah konvensi atau perjanjian dalam bentuk hukum internasional untuk pengendalian masalah tembakau yang dinamakan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).

FCTC ini mempunyai kekuatan mengikat secara hukum bagi negara-negara yang meratifikasinya. Tujuan dari FCTC sendiri adalah untuk melindungi generasi sekarang dan mendatang terhadap kerusakan kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi karena konsumsi tembakau dan paparan kepada asap tembakau, dengan menyediakan suatu kerangka bagi upaya pengendalian tembakau untuk dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait di tingkat nasional, regional dan internasional guna mengurangi secara berkelanjutan dan bermakna prevalensi penggunaan tembakau serta paparan terhadap rokok (artikel 3 - FCTC).

Menurut data WHO, sampai dengan Juli 2013, tercatat 177 negara telah meratifikasi FCTC. Tetapi ada 9 negara yang sudah menandatangani namun masih belum meratifikasi FCTC. Sementara itu ada 8 negara anggota WHO yang tidak menandatangani dan belum mengaksesi FCTC, Di Eropa ada Andorra, Liechtenstein, dan Monaco. Untuk Afrika ada Zimbabwe, Malawi, Somalia, dan Eritrea, serta Asia ada Indonesia.

Pemerintah juga membuat Prioritas melalui Roadmap Industri Hasil Tembakau, yaitu:

·Tahun 2007 – 2010 Urutan prioritas pada aspek tenaga kerja, penerimaan Negara, dan kesehatan.

·Tahun 2010 – 2015 Urutan prioritas pada aspek penerimaan Negara, kesehatan, dan tenaga kerja.

·Tahun 2015 – 2020 Urutan prioritas pada aspek kesehatan melebihi aspek tenaga kerja dan penerimaan Negara.

Apabila dilihat dari Roadmap yang dibuat oleh pemerintah mengenai Industri Hasil Tembakau, pemerintah sudah siap memasuki urutan prioritas aspek kesehatan, bukan lagi penyerapan tenaga kerja dan penerimaan Negara.Maka sebetulnya isi dari FCTC dengan Roadmap Industri Hasil Tembakau sudah sejalan.

FCTC memang dibuat untuk mengendalikan konsumsi tembakau dan salah satu isi dari FCTC ini membicarakan pengenaan cukai sebesar 70% dari Harga Jual Eceran (HJE) Rokok. Sedangkan menurut Undang-Undang (UU) No 39 Tahun 2007 Cukai paling tinggi terhadap rokok adalah 57%.Apabila kita meratifikasi FCTC maka besaran cukai pada Undang-Undang (UU) No 39 Tahun 2007 harus dirubah.

Disamping itu, kebijakan penggunaan jenis cukai juga akan dapat membantu menekan jumlah peredaran rokok.Cukai yang ada saat ini ada sistem spesifik, sistem ad valorem, dan sistem kombinasi antar keduanya.Sistem spesifik adalah sistem cukai yang pengenaannya berdasarkan atas jumlah (volume) yang di jual atau di produksi.Kalau sistem Ad Valorem adalah sistem cukai yang pengenaannya berdasar prosentase tertentu dari harga (harga produksi ataupun harga jual eceran).Pengenaan sistem cukai ini menjadi salah satu cara yang efektif dalam membatasi peredaran rokok.

Untuk dapat membatasi jumlah peredaran rokok, sistem cukai yang sebaiknya diberlakukan adalah sistem spesifik, bukan Ad valorem, maupunkombinasi.Karena dengan sistem spesifik ini lebih sederhana dan lebih mudah di dalam pemantauan dan penetapan besarannya yang sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan atas jumlah batang rokok maksimum yang diinginkan beredar.

Di Indonesia sekarang ini sudah menggunakan sistem spesifik dan kebijakan sistem cukai tersebut sudah tepat.Apabila kebijakan pemerintah adalah ingin menekan jumlah laju pertumbuhan perokok, cukuplah menaikan tariff cukai yang sudah ada tanpa perlu mengubah sistem cukai yang dipakai.Kenaikan cukai tersebut akan membuat harga rokok menjadi lebih mahal dengan maksud agar para perokok mengurangi konsumsinya.

Lalu apakah kita perlu secepatnya meratifikasi FCTC tersebut?Saran saya adalah lebih baik pemerintah fokus saja terlebih dahulu dengan sistem cukai yang sudah ada plus retribusi daerah yang sebesar 10% atau optimalkan tariff cukai sesuai UU.Karena isi dari FCTC dengan apa yang telah pemerintah sudah jalankan dalam mengendalikan jumlah rokok yang beredar sudah sejalan / sama.

Salam,

Andityo Triutomo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun