Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Sudah 77 tahun.
Namun, carut-marut dan compang-camping masih terjadi di sana-sini. Amburadul.
Saya tak usah tuliskan panjang lebar disini. Semua tahu dimana kecarutmarutan dan kecompang- campingan itu terjadi. Di bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, keamanan.
Gampang saja untuk mengetahui tentang pranata sebuah bangsa dan negara. Tak perlu repot melacak kepustakaan. Cukup perhatikan bagaimana warga masyarakatnya berperilaku dalam berlalu lintas di jalan raya. Cukup mengamati kondisi dan situasi lalu lintas jalan yang terjadi sehari-hari.Â
Apakah macet? Tidak tertib? Semrawut? Parkir sembarangan? Tanpa helm? Melawan arah? Melanggar rambu-rambu lalulintas? Tak ada seorang petugas pun yang menertibkan?
Dari situ sudah cukup menilai kondisi sebuah bangsa dan negara, bukan?
Betapa masih banyak rakyat yang hidup di bawah kemiskinan. Betapa masih banyak warga masyarakat yang hidup di rumah yang tak layak huni. Bahkan, di pinggiran ibukota negara Republik Indonesia, Cengkareng, Jakarta barat, masih ada rumah susun-rumah susun dan komplek perumahan yang tidak bisa menyediakan air bersih yang benar-benar layak pakai.
Betapa masih banyak warna negara Indonesia yang tak punya akses pendidikan dan kesehatan. Â Seolah-olah orang miskin tak boleh sekolah dan sakit.Â
Betapa  banyak warga masyarakat yang tidak memahami pentingnya kebersihan dan kesehatan. Bagaimana bisa memahami masalah kebersihan dan kesehatan karena tak punya  uang buat sewa rumah yang layak huni. Tak punya uang buat beli makanan dan minuman yang bersih dan sehat.
Negara miskin. Tetapi, pencetus kemiskinan seperti korupsi tidak diberantas secara sungguh-sungguh dan tuntas. Korupsi dan manipulasi terjadi dimana-mana. Bahkan sejak berpuluh-puluh tahun yang silam. Tindak-tindakan korupsi seperti berlari.Â
Sementara tindakan-tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi masih merangkak dan melangkah santai di pantai.