Tulisan yang dibawah ini merupakan postingan seorang mantan wartawan Gatra, yang disadur dari Majalah Gatra, beliau sosok ibu yang saya kagumi meskipun saya baru kenalan lewat FB, serta menelaah tulisan-tulisannya di postingan blog beliau, sungguh inspiratif, sarat makna, dan hikmah, apalagi tulisannya hampir semuanya adalah pengalaman lapangan ketika bergelut di dunia media, namun hingga kini pun juga masih sangat produktif dalam menulis,nama Beliau adalah Ibu Linda Djalil, beliau juga sering mengikuti pengajian Ust. Bachtiar Nasir bahkan pernah Umrah sama beliau. sebut saja salah satu buku beliau yang sempat di bedah di Metro Tv, yang berjudul "Cintaku Lewat Keripik Balado" menunjukkan bahwa beliau merupakan sosok Ibu yang produktif dalam menuangkan ide, gagasan serta ceritanya dalam bentuk tulisan, agar kelak menjadi Kado Indah bagi Penerus Bangsa. Tulisan gatra ini mengangkat sosok bapak yang ditengah kesibukannya selalu menyempatkan dirinya belajar Islam, posisinya sebagai Direktur BUMN tidak membuatnya lupa akan akhiratnya. saya (Andi Takdir) pertama kali saya jumpa beliau, saat beliau di Akhir Tahun 2011 di Jakarta, saat itu beliau mengikuti pengujian rutin "Khalifa Club" di Marocco Hause, pengajian yang digagas Ar-Rahman Quranic Learning Centre yang mana Ust. Bachtiar Nasir, Lc, MM sebagai Pimpinannya, pengajian ini merupakan wadah eksekutif Muslim yang ingin mendalami Al-qur'an dalam sesi tadabbur, sebut saja Pak Glen Dirut Bank Bukopin, pak Ahmad Kalla, Serta Pak Bambang Widjojanto semuanya peserta rutin pengajian ini, saat itu beliau datang bersama Istrinya, Subhanallah di tengah gaya hidup hedonisme ini masih ada juga orang-orang yang seperti beliau, apalagi waktu itu acaranya diadakan malam hari, dimana tentunya beliau seharian harus dikantor menjabat sebagai Dirut Perum PERURI, yang sebelumnya juga beliau pernah menjabat sebagai Dirut di INDOSAT, maka wajarlah beliau memiliki tameng untuk menangkal segala godaan dan cobaan. Pak Nino Keep Istiqomah....... [caption id="attachment_226876" align="aligncenter" width="300" caption="Pak Nino di Pengajian Ust. Bachtiar Nasir"][/caption] Berikut liputan Majalah Gatra dengan Bapak Nino Sebelum di Peruri, Anda di Mana? Ponsel Junino Jahja berdering. Setelah diangkat, dari seberang, si penelepon menyampaikan pesan sederhana: meminta kesediannya hadir dalam pertemuan dengan beberapa anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Mata Uang yang sedang digodok di Komisi XI DPR. Saat itu, hari Senin 21 Maret 2011. Junino adalah Direktur Utama (Dirut) Perum Percetakan Uang RI (Peruri) ketika itu. Sejak 31 Oktober 2012, ia tidak lagi menjadi dirut. Junino diajak makan malam di Restoran Poke Sushi, Hotel Crowne Plaza, Jakarta. Junino mengiyakan ajakan itu. Pada saat makan malam, ia ditemani Slamet Haryono, Sekretaris Perusahaan Peruri. Menjelang senja, ia telah menunggu di tempat yang sudah diatur. Pukul tujuh malam, datanglah lima anggota pansus. Mereka adalah Achsanul Qosasi (Partai Demokrat), Mustofa Assegaf (Partai Persatuan Pembangunan), Edison Betaubun (Partai Golkar), I Gusti Agung Rai Wirajaya (PDI Perjuangan), dan Muhammad Hatta (Partai Amanat Nasional). Sembari menunggu pesanan disajikan, tim pansus mengutarakan ihwal masih adanya dua pasal dalam RUU itu yang belum disepakati. Yaitu pasal yang berkaitan dengan kewenangan mencetak uang dan membeli kertas. Tim pansus menjelaskan, ada kemungkinan pansus menyetujui wewenang mencetak dan membeli kertas jatuh pada Peruri. Selama ini, kewenangan Peruri hanyalah mencetak. Sedangkan hak membeli kertas dan mengedarkan uang hasil cetakan Peruri ada pada Bank Indonesia (BI). Obrolan itu, menurut Junino, kemudian berputar-putar tanpa arah yang jelas. Ia menjadi jengah. "Saya berterima kasih kalau begitu, tetapi maksud kongkretnya apa, ya?" tanya Junino. "Kalau pasal ini diloloskan, Peruri yang untung. Ya, share keuntungan dengan kamilah," jawab salah satu anggota tim pansus, seperti ditirukan Junino. Junino berkilah tidak memiliki dana untuk itu. Seorang di antara mereka menyarankan Peruri meminta duit ke supplier-nya untuk menalangi pembayaran kepada tim pansus itu. Tarik-menarik permintaan upeti ini berakhir saat Mustofa Assegaf, yang tidak begitu mengenal Junino, bertanya. "Sebelum di Peruri, Anda di mana?" Tanpa pikir panjang, Junino menjawab, "Saya sebelumnya Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Pak." Pembicaraan mengenai dua pasal di RUU Mata Uang itu pun terhenti seketika. Achsanul yang pertama meminta izin keluar dari ruangan dengan dalih ada panggilan telepon masuk. Edison dan Mustofa menyusul keluar. Alasannya, ditunggu orang lain di tempat lain. Tinggal Gusti Agung dan Hatta, yang mau tidak mau menemani Junino makan malam karena pesanan keburu diantarkan. Yang tidak diketahui anggota tim pansus itu, pembicaraan mereka sedari awal direkam oleh KPK. Namun, karena belum sampai menyebut harga dan belum terjadi tindak pemerasan, persoalan ini tidak sampai bergulir ke muka hukum. Tim Pansus RUU Mata Uang menampik tudingan adanya upaya memperdagangkan pasal ke Peruri itu. "Nggak ada gitu-gituan," kata Achsanul kepada GATRA. "Mau ngapain kami cari-cari uang begitu. Ini kan menjelekkan nama baik kami. Apalagi menjelang pemilu seperti ini. Mereka mencoba menjatuhkan kami aja," ia menambahkan. Meski begitu, Achsanul membenarkan adanya pertemuan dengan Junino di Hotel Crowne Plaza itu. Pertemuan itu, kata dia, hanya menanyakan kesiapan Peruri mencetak uang di dalam negeri sendiri. "Masak kita mencetak uang di Australia, di mana-mana. Makanya, kami tanya, mereka siap nggak mencetak di sini. Itu aja," katanya. Selama Junino menjadi dirut BUMN, permintaan upeti dari pihak luar, baik itu anggota DPR, pemerintah daerah, supplier, maupun masyarakat, jamak terjadi. "Kalau DPR, umumnya datang sendiri meminta sumbangan untuk dibagikan ke daerah asal pemilihan mereka," kata Junino kepada Fitri Kumalasari dari GATRA. "Atau membawa supplier agar dimenangkan dalam proses tender proyek Peruri," katanya. Mereka yang datang biasanya dari Komisi VI yang membidangi BUMN. Junino menyarankan kepada direksi BUMN agar tak takut menghadapi upaya pemalakan itu. "Kalau mau ketemu, ya, temui saja. Kalau merasa ada ancaman, lapor ke aparat penegak hukum seperti KPK, polisi, atau kejaksaan," ujarnya. (Irwan Andri Atmanto) Laporan Utama majalah GATRA edisi 19/01, terbit Kamis 8 Nopember 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Kebijakan Selengkapnya