Baru-baru ini kita dihebohkan dengan berita tentang nenek Asyani yang harus menjalani proses hukum lantaran diduga mencuri tujuh batang kayu milik Perum Perhutani yang berukuran kecil hanya sekitar 10 sampai 15 cm dan melanggar UU No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, pihak perhutani langsung melapor kepada penegak hokum atau kepolisian apabila terjadi gangguan keamanan hutan. Dalam sidang kamis 9 April 2015, jaksa penuntut umum menuntut Nenek Asyani dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp500 juta. Hal tersebut menuai kritik dari masyarakat karena tidak adil. Bagaimana tidak adil, para pejabat yang melakukan korupsi sampai miliaran, bahkan triliunan dapat berkeliaran dengan bebas. Meskipun ada beberapa koruptor yang dipenjara, mereka masih bisa menikmati fasilitas mewah di dalam tahanan, bahkan lebih mewah dari orang biasa yang tinggal di luar penjara.
Disamping itu ada pula kasus dari seorang anak pejabat mantan Mentri Koordinasi Perekenomian beberapa waktu silam. Diketahui bahwa anak pejabat tersebut terlibat kasus tabrakan pada 1 Januari 2013. Kecelakaan yang memakan korban 2 orang meninggal dunia dan 3 orang lainnya luka-luka. Tidak ada keterangan yang jelas tentang kasus ini setelah anak pejabat tersebut yang diketahui bernama Rasyid Rajasa memilih pergi dari pada menyelesaikan persoalan ini. Kasus yang belum diketahui kapan akan selesai ini tentu banyak menuai kontroversi di lain sisi kita melihat kasus nenek Asyani yang bersedia untuk menerima hukuman walaupun hanya karena mencuri kayu jati yang hanya berukuran kecil. Disini Rasyid terbukti melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang -Undang Lalu Lintas akibat mengendarai kendaraan dengan lalai dan subsider Pasal 310 ayat (2). Namun sampai saat ini tidak di proses ke ranah hukum. Kita bisa bandingkan kedua kasus diatas bahwa banyak perbedaan terjadi di ranah hukum negara kita.Orang biasa yang melakukan pelanggaran langsung dijebloskan ke penjara, meskipun hanya pelanggaran kecil.
Dalam kasus ini jelas terlihat bahwa untuk memperoleh keadilan hukum sangatlah sulit, padahal hak memperoleh keadilan hukum sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 28 D ayat 1 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". Sehingga sangat diperlukan konstruksi ulang dalam peradilan dinegara kita ini. Pasal 28 D UUD 1945 ayat 1 dapat dijalankan dengan menegakkan supremasi hukum bagi tiap masyarakat. Selain itu Negara harus mensejahterakan kehidupan rakyat seperti dalam pasal 34 ayat 1 “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”, nenek Ahsani menjadi bukti bahwa negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya terhadap warga negara.
Negara kita adalah Negara hukum maka hukum harusnya di tegakkan, untuk semua kalangan dan bukan hanya untuk mereka yang memiliki uang. Dengan mempertegas jalannya hukum, semakin diperketat pengawasan para penegak hukum agar tidak disuap oknum- oknum kalangan atas yang memanfaatkan keadaan. Hukuman yang diberikan juga diperjelas agar kita takut dan tidak coba-coba melakukan kejahatan. Semoga tidak ada lagi kasus ketidakadilan hukum seperti yang dialami oleh nenek Asyani, semoga baik dari pihak pembuat, penegak dan yang menjalankan hukum mampu berbuat adil tanpa memandang bulu.
Referensi :http://id.wikisource.org/wiki/Undang -Undang_Dasar Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H