BUKU DAN SEORANG IBU MUDA
Oleh : Andi Surya Amal
“How you spend your time is more important than how you spend your money. Money mistakes can be corrected, but time is gone forever”. (David Norris)
-------------------
Pada kesempatan saya berkunjung ke toko buku,yang tidak pernah saya lewatkan adalah melihat ke etalase untuk buku-buku baru, dan buku-buku yang tergolong buku-buku laris. Buku-buku yang berlabel best seller agaknya lebih banyak ditemukan pada buku-buku self help, buku-buku berpengaruh yang menawarkan petunjuk cara hidup untuk meraih kesuksesan, yang tentu saja berujung pada kesuksesan materil.
Sebutlah antara lain; Rich Dad Poor Dad, karya Robert T. Kyosaki, The Magic of Thinking Big, karya David J. Schwart, How to Stop Worrying and Start Living, karya Dale Carnegie, The Seven Habits of Highly Effective People, karya Steven R. Covey, Speech Can Change Your Life, tulisan Dorothy Sarnoff, dan masih banyak lagi. Untuk kategori ini bisa juga ditemukan pada buku-buku wacana kontenporer yang mengundang selera keingintahuan pembaca. Ada juga buku-buku fiksi yang sangat menghibur dengan dukungan advertising yang kuat.
Beralih ke hal lain. Akhir April lalu, saya cukup dikejutkan berita duka cita yang dialami seorang kerabat. Istri tercintanya berpulang ke rahmatullah karena penyakit kanker kolon yang dideritanya. Saya turut larut dalam kesedihan yang mendalam atas kepergian ibu muda, seperti saya biasa menyebutnya. Dia berpulang ke pangkuan Ilahi. Secepat itu.
Tidak begitu banyak yang saya ketahui pada ibu muda itu kecuali pada semangat hidupnya. Kurang lebih lima tahun saya mengenalnya sebagai seorang ibu muda yang enerjik. Dia seorang perempuan kolerik yang semangat hidupnya menyala-nyala. Aktivitas sosialnya di sebuah LSM, kegiatan bisnis yang ditekuninya, dan keterlibatannya di sebuah perusahaan support membuatnya bertumbuh sebagai perempuan berwawasan luas dengan visi yang gilang gemilang. Tidak hanya dalam soal kecerdasan finansial, tapi juga memiliki kemampuan human relation yang cukup baik. Ia gampang bergaul dan tidak 'milih-milih' kawan. Meskipun kadang-kadang ia bisa mengatakan apa saja yang diyakininya benar tanpa merasa orang lain kemungkinan akan tersinggung.
Berbeda dengan suaminya yang plegmatis. Ia nampak seperti seorang pemikir yang serius. Pria yang damai dan tidak banyak bicara, cukup mengimbangi sifat kolerik istrinya. Saya melihat kedua pasangan itu saling melengkapi. Suami ibu muda itu adalah seorang pegawai di salah satu instansi pemerintah. Di sebuah seminar motivasi, saya bermula mengenal keduanya. Kira-kira lima tahun yang lalu. Semenjak itu kami berteman akrab. Saling mengunjungi, berbagi pengalaman, dan acap kali terlibat diskusi kecil soal buku atau trend-trend baru di masyarakat. Kami punya latar belakang yang berbeda. Saya seorang profesional, sementara ibu muda itu seorang enterpreneur muda yang berhasil.
Tiga bulan sebelum ibu muda itu menghembuskan nafasnya yang terakhir, saya bersama istri sempat menjenguknya di sebuah rumah sakit. Ketika itu ia menjalani kemoterapi untuk yang kesekian kalinya. Kanker kolon yang dideritanya sudah stadium IV dan telah bermetastase ke organ lain. Ia masih nampak bersemangat meskipun penyakit yang dideritanya sewaktu-waktu dapat merenggut jiwanya. Ia malah sempat mengabarkan saya tentang buku baru Robert T. Kyosaki yang ditulisnya bersama Donald Trumph, “How We Want to be Rich”. Ia sangat terinspirasi karya-karya Robert T. Kyosaki, dan buku-buku berpengaruh pembangun motivasi.
Terhadap buku Robert T. Kyosaki, ia selalu antusias setiap ia berbicara tentang Cashflow Quadrant. Suatu ketika misalnya ia bilang, “Kita harus belajar merubah paradigma kita tentang uang. Kita harus merani melakukan terobosan-terobosan baru dengan melakukan hal-hal baru. Mental dan emosi kita harus dibangun untuk bisa berpindah ke 'quadran kanan'. Quadrant dimana orang-orang membangun bisnis dengan sistem, dan atau menciptakan investasi untuk masa depan yang tak terbatas. Kebanyakan orang bekerja sepanjang waktu untuk menghasilkan uang. Sementara di 'quadran kanan' orang-orang bekerja membangun aset. Aset bekerja menghasilkan uang. Beginilah cara uang bekerja untuk kita, dan bukannya kita bekerja untuk uang”.
Atau, di lain waktu misalnya ia berkata, “Salah satu alasan utama mengapa seseorang tidak sukses dalam hidupnya adalah karena ketakutannya terhadap apa yang bakal terjadi. Orang miskin tidak berani bermimpi, karena itu ia tetap miskin. Di balik impian ada harga harus di bayar, ada risiko yang bakal dihadapi. Dan, tidak semua orang mau membayar harganya, dan tidak semua orang berani menantang risikonya. Maka kemiskinan dan kekayaan sebetulnya hanya soal pilihan”.
Nampaknya, buku-buku yang dibacanya merubah cara pandangnya tentang uang, pekerjaan, hubungannya dengan orang lain, dan antusiasme dalam manatap masa depan. Di mata saya, semasa hidupnya dia adalah sosok ibu muda yang tangguh. Ia tidak hanya berjuang untuk mengejar impian-impiannya, tapi juga pada penyakit yang bersarang di tubuhnya.
Saya tahu dia tipe orang yang tidak suka dikasihani, meskipun saya sangat iba karena penyakit yang ia derita. Nampaknya, pertemuan kami di rumah sakit tiga bulan sebelum kepergiannya menjadi pertemuan kami yang terakhir dengan ibu muda itu. Saya tidak lagi mendengar khabar setelah kunjungan kami yang terakhir. Kecuali suatu waktu dia menghubungi istri saya melalui handphone. Dia menyampaikan terima kasih atas buku Fiqh Ibadah tulisan Dr. Muttaqien Said, M.A. yang kami titipkan melalui suaminya ketika terakhir kali menjenguknya di rumah sakit.
Di tengah semangat hidupnya yang menggelora, ibu muda itu pergi. Ia pergi untuk selamanya, dan meninggalkan impian-impian semasa hidupnya. Dan, saya salut pada sosok suami yang setia mendukungnya. # Makassar, ketika itu 1 Mei 2008
**************************
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H