Mudik, dengan sangat sederhana, saya akan maknai sebagai suatu proses "pulang" dari ruang (fisik) sekarang, di sini, ke suatu ruang yang lain, di sana. Di antara "di sana" dan "di sini" terbentang jarak yang musti ditempuh agar kita bisa sampai, tiba. Tentu saja kita butuh perjalanan selama proses itu, apa pun modanya. Begitulah saya mencoba "mendefinisikan" mudik dengan cara sederhana--bahkan sangat menyederhanakan. Dalam tulisan ini, saya bermaksud menunjukkan pandangan tentang mudik 'yang lain', setidaknya menurut pandangan saya. Tanpa melepaskan nilai sakralitas momentumnya, mudik yang saya maksudkan di sini--sebagai pengertian yang berbeda dari cara sederhana di atas--adalah suatu perjumpaan tanpa harus ditandai dengan kehadiran (kepulangan?) Sang tubuh ke "sana"; kampung halaman, di mana handai taulan sebagian besar bertempat tinggal.
Tulisan ini sebenarnya terinspirasi juga oleh opini di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta beberapa waktu lalu. Penulis opini di harian itu menggagas tentang digitalisasi mudik (?). Intinya, jika teknologi sedemikian berkembangnya hari ini sehingga kita bisa berkomunikasi dengan kerabat bahkan yang berada di pelosok sekalipun, maka kenapa mudik harus selalu diiringi dengan perpindahan tubuh? Padahal, menurut penulisnya, fenomena mudik senantiasa pula diwarnai dengan kemacetan, resiko kecelakaan, dll.
Terhadap tulisan itu, saya sepakat pada beberapa bagiannya, termasuk pula saya mempertanyakan kemungkinan lain dari bisa-tidaknya gagasan itu dipenuhi. Namun bagaimana pun, tulisan itu inspiratif. Setidaknya bagi saya.
Mudik: Tradisi atau Rutinitas Belaka?
Apapun pengertiannya, mudik sah saja kita pertanyakan makna-makna di baliknya. Lazim diketahui, mudik marak dilakukan saat menjelang hari raya. Karena mayoritas penduduk kita memeluk agama islam, maka menjelang idul fitri, mudik pun semakin marak.
Sebagai sebuah aktivitas manusia dalam hal "pergi" dan "pulang" tentu saja mudik bermakna sebagai tradisi. Tetapi jika tradisi dipahami sebagai suatu kebiasaan yang terdapat nilai di dalamnya, maka sejauh mana nilai-nilai tersebut memposisikan mudik sebagai sesuatu hal penting? Kemungkinan lainnya, mudik hanyalah aktivitas rutin belaka. Hanya karena semua atau sebagian besar tetangga di tanah rantau--yang tentu saja bukan warga asli di tempat tersebut--beramai-ramai "pergi", lalu kita ikut pergi juga, yang sebenarnya kita meringis karena biaya mudik yang sudah tentu mahal, apalagi jika sudah mempunyai anak-anak. Tentu ada banyak kemungkinan lain lagi tentang hal-hal yang mendorong beringsutnya roda mudik itu.
Dengan berbagai alasan yang berbeda, mudik tetap dipraktikkan sampai hari ini oleh para pendukungnya. Gagasan tentang digitalisasi mudik memang menarik. Atas nama maaf-maafan dan silaturrahmi, mudik menjadi fenomena tak terbendung. Berkumpul dan bercengkerama dengan kerabat luas di tanah kelahiran memang keindahan tiada tara--bagi yang pernah mudik akan tahu rasanya, termasuk saya. Teknologi informasi dan komunikasi memang berkembang sangat maju. Tidak suara (audio) tapi gerak (visual) secara 'nyata' dapat disaksikan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi. Ekspresi secara nyata bisa ditangkap oleh pandangan. Suara kita dengar begitu 'hidup.'. Namun demikian, secanggih apapun teknologi mentransformasikan semua itu pengalaman batin atas secercah perjumpaan (fisik) sungguh terbatas dalam hal ia. merepresentasikannya.
Mudik akan menjadi fenomena rutinitas belaka jika ia gagal menghayati aspek batin dari perjumpaan tersebut. Ia menjadi dangkal, bahkan cenderung tanpa 'makna.'
Memang singkat sekali, tapi sampai di sini, kepada mereka yang mudik, kita boleh menakar diri kita dalam konteks mudik tersebut.
Kepadamu Orang Tuaku, Harusnya Mudikku: Refleksi Atas Ketidak-mudikanku
Ini adalah semacam refleksi saja. Saya tidak mudik sejak dua tahun terakhir ini. Selama itu pula saya tidak berjumpa secara fisik dengan kedua orang tua, termasuk keluarga luas saya. Teknologi handphone (HP) memang sering membantu kami untuk saling berbicara. Foto-foto ditukar melalui layanan MMS, atau foto kenangan selama bersama mereka. Sayangnya, semua itu tidak cukup. Saat lebaran tiba, permohonan maaf diajukan, secara lisan tentu saja. Tak ada jabat tangan, apalagi berpelukan. Rengkuh tangan dan peluk hangat mereka didamba begitu dalamnya. Kami saling merindu, tetapi tak mampu jua kami retas batas jarak ruangnya. Berbagai alasan keterbatasan bercokol di baliknya.
Rasanya, mudik yang ingin kalakukan adalah kembali ke hati ibu, hati ayah saya. Mereka pasti tak pernah melepaskanku dari hatinya, tetapi realitas bahwa kami telah berjarak tahun-tahun terakhir ini menjadikan kerinduan saya pada ruang serupa itu bagai harapan segalanya.
"Ibu, Ayah, maafkan aku, anakmu," gumamku pada cermin pada suatu malam di kamar indekostku.