Diakui atau tidak, kelapa sawit telah berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai terjadi pergeseran budidaya sejumlah komoditas seperti karet dan tanaman lain. Perubahan posisi minyak sawit sebagai minyak nabati utama dunia menggantikan minyak kedelai yang hampir 100 tahun menjadi minyak utama dunia, telah melahirkan dinamika baru persaingan minyak nabati global. Dalam perkembangannya, isu global ekonomi, sosial dan lingkungan  mewarnai dinamika minyak sawit dunia secara umum dan minyak sawit Indonesia secara khusus.
Presiden Joko Widodo telah menetapkan Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Peraturan ini ditandatangani pada 13 Maret 2020 dan berlaku sejak 16 Maret 2020. Sebelum Perpres ini dikeluarkan, sebenarnya inisiatif lain yang dikembangkan pemerintah adalah Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Kebijakan ISPO diterapkan oleh Kementerian Pertanian yang bertujuan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia sekaligus pemenuhan komitmen Presiden RI dalam pengurangan emisi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. Pembangunan di Indonesia seyogyanya menerapkan ilmu lingkungan semangat yang harus ditanamkan kepada pra pengambil kebijakan. Menurut Miller dan Spoolman (2015), ilmu lingkungan didefinisikan sebagai ilmu multidisiplin yang mempelajari cara alam bekerja, interaksi manusia dan alam, dan menemukan solusi penyelesaian masalah lingkungan.
Peraturan Presiden No.44/2020 dalam proses penyusunan rancangannya sempat ditolak Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indo (APKASINDO) karena dinilai aturan itu akan merugikan petani sawit. Hal ini bukan tanpa alasan. Faktanya, dengan regulasi sebelumnya petani kesulitan memperoleh sertifikasi karena persoalan keabsahan legalitas lahan mereka, keterbatasan sumber daya manusia, sistem budidaya yang tidak jelas serta sering terjadi masalah tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan yang dilarang ISPO. Masih tingginya letusan konflik agraria yang terjadi di sektor perkebunan menandakan bahwa belum ada upaya yang serius dan bersungguh-sungguh dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria yang diakibatkan oleh kebijakan dan praktik-praktik pembangunan serta perluasan perkebunan di Indonesia (Cifor 2016; Colchestester 2006).
Data APKASINDO menyatakan bahwa sekitar 54 persen kebun kelapa sawit swadaya terindikasi berada di dalam kawasan hutan. Pengalaman selama ini juga menunjukkan bahwa masa transisi selama lima tahun sampai semua petani tersertifikasi juga membuat aturan ISPO berpotensi tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Kelebihan Perpres 44/2020 adalah terdapat upaya memperbaiki tata kelola sertifikasi ISPO melalui pembukaan ruang partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi. Perpres ini juga akan menata ulang kelembagaan Komisi ISPO, baik dari sisi keanggotaan, tugas, fungsi, serta integritas.
Hal menarik lainnya adalah penyempurnaan  standar dan persyaratan sertifikasi ISPO juga menjadi poin pentinh dalam Perpres ini, selain juga perhatian pada persoalan deforestasi, konversi lahan gambut, dan emisi gas rumah kaca. Momentum sangat strategis untuk memperbaiki Indonesia dari sorotan dunia tentang aspek keadilan sosial dan isu lingkungan dalam pembangunan kelapa sawit.
Hal baru sebagai tonggak sejarah dalam regulasi ini adalah bahwa penerapan Sistem Sertifikasi ISPO dilakukan secara wajib untuk perusahaan maupun pekebun. Khusus untuk pekebun, aturan ini baru diterapkankan lima tahun sejak Peraturan Presiden ini berlaku. Mekanisme pengambilan keputusan Sertifikasi ISPO juga diterapkan dengan lebih akuntabel, transparan, dan memenuhi Standar Sistem Sertifikasi Internasional.