Mohon tunggu...
ANDI SETIAWAN
ANDI SETIAWAN Mohon Tunggu... Guru - yang saya tulis dan saya ucapkan itu buah pemikiran bukan paksaan

Kebebasan Berpendapat adalah kemerdekaan Pertama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Latar Belakanglah Yang Menentukan Persamaan dimuka Hukum,,!!

15 Juni 2017   09:19 Diperbarui: 15 Juni 2017   09:19 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Dalam Konstitusi tertinggi di negara ini secara jelas mengakui bahwa negara Indonesia ada negara yang berdasarkan hukum. Hukum menjadi dasar yang menentukan kegiatan hidup masyarakat Indonesia dari sabang sampai merauke harus mengikuti ketetapan hukum yang telah diberlakukan oleh negara Indonesia. Hukum itu sendiri merupakan suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan dari berbagai bentuk kekuasaan kelembagaan yang ada dinegara Indonesia. Hukum menjadi pelindung dari bentuk penyalahgunaan kekuasaaan dalam bidang politik ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak sebagai perantara utama dalam hubungan social antara masyarakat terhadap kriminalisasi dalam bentuk pemidanaan. Untuk penegasan bagaimana pentingnya hukum, pendapat filsuf Aristoteles memberikan gamabran jelas bahwa “Sebuah supermasi hukum akan jauh lebih baik daripada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela.”    

            Perlu kita pahami dan mengkaji lagi secara mendalam bahwa, hingga detik ini, belum ada kesepahaman dari para ahli mengenai pengertian hukum itu snediri. Ibarat suatu pensil, yang telah lama kita ketahui bahwa digunakan untuk menulis sesuatu, bamun sebenarnya belum kita pahami apa itu pensil sebenarnya. Telah banyak para ahli dari luar maupun dari dalam (Indonesia) yang telah mencoba untuk memberikan pengertian aau definisi hukum namun belum adda satupun ahli atau sarjana hukum yang mampu memberikan pengertian hukum yang dapat diterima oleh semua pihak. Jadi, jangan heran jika saya menjawab hukum adalah sekumpulan peraturan/kaidah yang mengatur kehidupan manusia dengan sanksi tertentu baik yang berbentuk tertulis maupun tidak tertulis. Sebenarnya inilah permasalahanya, karena memang belum ada kesepakatan dari para ahli mengenai pengertian hukum itu sendiri. Sehingga masih dari segi definisinya saja sudah multi akan penafsiran bagaimana dengan isinya, tentu akan selaras dari pengertianya pula (multi tafsir).

            Hukum setidaknya memiliki beberapa unsur penting sebagai dasar utama yang dapat diterima oleh masyarkat luas, hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia dalam masyarakt, peraturan berisikan perintah dan larangan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kemudian penegakan aturan bersifat memaksa, peraturan hukum dibuat bukan untuk dilanggar namun untuk dipatuhi. Dan hukum memiliki sanksi dan setiap pelanggaran atau perbuatan melawan hukum akan dikenakan sanksi yang tegas. Sejalan dari hal tersebut seharusnya hukum harus mampu ditegakkan dengan setegak-teganya, dari pendapat sang ahli filsufpun mengarahkan untuk lebih menegakkan hukum itu sendiri dari pada peraturan tirani yang meraja rela. Itu artinya kita disarankan untuk memperhatikan penegakakan hukum itu sendiri bukan mengutak atik hukum sesuai dengan keinginan dan kebutuhan dari pihak-pihak tertentu atau para penguasa.

            Berbicara tentang hukum di Indonesia memang tidak ada ujungnya, hal ini karena memang dipengaruhi oleh sebagian hukum yang dianut di Indonesia masih memuat peraturan-peraturan yang diwarisi oleh orang-orang eropa terdahulu. Namun tidak semua praturan yang ada merupakan peraturan yang ditinggalkan oleh bangsa eropa terdahulu. Seiring perkembagnan pengetahuan dan kehidupan masyarakat Indonesia sendiri, hukum menjadi suatu hal yang mendapatkan perhatian serius karena memang negara Indonesia adalah negara hukum Pasal 1 ayat 3, sehingga apapun yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa terlepas dari hukum itu sendiri.

            Contoh sederhananya, kasus yang terjadi dalam kalangan masyarakat kecil saja sudah menunjukan terjadinya peningkatan dari kesadaran hukum masyarakat itu sendiri, kasus yang saya amati dan terjadi disekitar lingkungan saya, yaitu kasus penganiayaan yang sering terjadi dan dilakukan oleh orang dewasa kepada anak dibawah umur. Tepatnya sekitar tahun 2009 di Dusun Sinar, Desa Naru, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima. Terjadi suatu kasus yang melibatkan anak berusia 17 tahun dengan seorang bapak berisa 30 tahun, kasus tersebut bermula karena hal yang sepele yaitu anak-anak yang bermain bola, namun bola tersebut mengenai antena parabola dari bapak tadi, sehingga bapak tersebut marah besar dan memukuli anak tersebut sampai anak tersebut jatuh pingsan. Kasus tersebut dilaporkan kepihak yang bewajib, setelah mendapatkan visum dari pihak rumah rakit dengan luka lebab dan pendarahan dalam, pihak kepolisianpun menangkap bapak yang bersangkutan.

            Dari kasus yang terjadi tersebut membuka mata sluruh masyarakat disekitar desa tempat tinggal saya dan ini merupkan kasus pertama yang sangat terkenal dengan istilah visum, dan sampai saat ini kata visum menjadi lelucon sekaligus ancaman bagi seseorang yang ingin berbuat diluar batas kewajaran , karena dengan melakukan visum otomatis seseorang akan berursan dengan pihak kepolisian dan ujung-ujungnya tidur dalam kamar 1 kali 1 dengan ditemani nyamuk yang setiap saat menyanyikan lagu-lagu sendu. Hehehe

            Itu menunjukan bahwa masyarakat mempunyai pemahaman tentang arti pentingnya hukum itu sendiri dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan yang ada. Yang sangat menarik dari negara ini, hal-hal sederhana seperti itu akan menjadi sangat luar biasa jika telah berubah latar, tempat, waktu, status dan jabatan dari orang yang melakukan suatu pelanggaran hukum. Kasus yang terjadi dikampung saya memiliki efek yang cukup baik dimana masyarakat telah mengetahui dan mengikuti ketentuan pasal-pasal yang termuat dalam hukum pidana khususnya mengenai penganiayaan. Namun berbeda 360 derajat jika kita menoleh ke kasus yang menimpa para pejabat dinegara ini, akan menjadi suatu hal yang panjang dan begitu rumitnya untuk diselesaikan, hukumpun mulai dicari celahnya seakan suatu tindakan yang dilakukan memang tidak bersalah. Peluang dari hukum yang masih multi tafsirpun dimanfaatkan oleh para penafsir yang tertarik akan suatu hal yang identik dengan memutar balikan fakta.

            Seperti kasus yang masuh terus bergelinding sampai saat ini yaitu kasusnya bapak Ahok dimana seperti yang dilansir news.detik.com. Jakarta- Selama proses penyidikan, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak ditahan. Namun ia tiba-tiba ditahan setelah keluar vonis PN Jakut, padahal putusan itu belum berkekuatan hukum tetap. Ada yang janggal, Zain Amru Ritonga menggugat pasal terkait ke Mahkama Konstitusi.

            Pengadialan Negeri Jakut menahan Ahok berdasarkan Pasal 193 ayat 2 huruf a yang menyatakan ; “Pengadilan dalam menjatuhakan putusan, jika terdakwa tidak ditahan dapat memrintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup itu.

            Baikahlah kita coba mengukik sedikit dengan penawsiran sederhana dan dengan pemahaman seadanaya. Kembali lagi kita mengambil pesan dari filsuf yang termasyur kata-katanya “Sebuah supermasi hukum akan jauh lebih baik daripada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela.” Beliau berpesan agar menjamin supermasi hukum dalam suatu negara, dan kita harus memahami bahwa dalam hal tersebut pihak pengadilan lah yang paling menentukan, dan pertanyaan sederhananaya bagaiman jika sanga pengadil dituntut atas putusan yang dijatuhkan. Baik kita lihat pasal 21 dalam KUHP yang menjadi landasan dari pihak pengadil menjatuhkan putusan untuk menahan pak Ahok dimanapasal tersebut berbunyi “ Pidana kutrungan harus dijalani dalam daerah dimana si terpidna berdiam ketika putusan hakim dijalankan, atau jika tidak punya tempat kediaman, didalam daerah dimana ia berada, kecuali kalau Menteri Kehakiman atas permintaanya terpidana membolehkan menjalani pidananya di daerah lain.”

            Sebenarnya dalam pasal 21 tersebut telah menunjukan bahwa pihak yang bersangkutan memang harus ditahan dan pilihanya hanya ada dua diatahan ditempat putusan hakim dijalankan atau ditempat lain. Intinya tetap ditahan. Namun pihak ingin mengkaji lagi putusan hakim tersbut berdalih bahwa “Pasal 193 ayat 2 huruf a dinilai telah bertentangan dengan pandangan atau alian, pikiran, nilai, jiwa dan semangat UUD 1945 seagaimana Pasal 28D ayat 1 dna Pasal 1 ayat 3,” kata kuasa hukum pemohon, Bonget Jhin Sihombing, dalam siding di gedugn MK, jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (13/06/2017). Waaaaah kelihatan sangat rumit yah,, Bisa-bisa diperberat hukumanya tuhh,, karena mau diabawa ke Mahkamah Konstitusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun