Rumah Arajang atau rumah-rumahan bagi orang-orang tertentu yang dibuatkan tempat sebagai simbol bahwa mereka pernah ada di dunia. Orang-orang yang dimaksud adalah orang yang meninggal tanpa jejak di bumi, dalam kepercayaan masyarakat Bugis mereka mallajang alias menghilang. Karena mereka menghilang olehnya itu, keturunan mereka merumahkannya sebagai makam kecil namun bukan kuburan.Â
Awal mula keberadaan rumah Arajang tersebut yakni berasal dari Ilham oleh tokoh masyarakat yang disebut Panrita kampung. Ia dapat petunjuk untuk merumahkan orang-orang yang meninggal tanpa diketahui jasadnya dan orang tersebut punya jasa yang luar biasa atas keturunannya.
Di rumah Arajang tersebut terdapat beranekaragam benda-benda sebagian pun merujuk pada hal-hal mistis dan dikeramatkan. Benda yang paling menonjol adalah boco' (kelambu kecil), layaknya miniatur. Jumlah boco' disesuaikan dengan berapa jumlah nama yang ingin diberikan tempat serta berbagai macam warna mulai dari merah, biru, putih, kuning, hijau, dan sebagainya. Benda kedua kasur dan bantal kecil yang berada di dalam boco tadi. Benda selanjutnya adalah songkok recca bilamana penghuni atau yang diniatkan di dalam boco tadi merupakan lak-laki, sementara jika perempuan semacam mukena, sarung kecil atau jilbab. Demikian gentong kecil, timba, piring, kebokan dan perlengkapan dupa di depan boco juga disediakan, celengan tempat orang bersedekah, kemenyan, daun sirih dan benda-benda lainnnya sebagai kebutuhan ritual mappaenre.
Posisi Arajang berada di rakkeang, bagian atas rumah panggung semacam bilik atau ruang antara atap dan ruang tengah. Untuk naik ke rakkeang tempat Arajang, disediakan tangga kecil. Orang-orang yang akan datang berziarah biasanya disediakan sarung baik laki-laki maupun perempuan. Mereka tidak boleh naik langsung tanpa dampingan penjaga arajang atau pabbaca, orang yang dipercayakan dari kelompok tersebut untuk memimpin upacara ritual mappaenre atau orang yang memimpin doa jika doa bersama dibutuhkan. Para peziarah pun harus jalan menunduk, pelan maju ke hadapan arajang, dan berjalan mundur beberapa langkah hingga tiba di depan tangga turun. Hal tersebut dianggap kesopanan, dan menjaga kekusyuan, bahkan terkadang dianjurkan mengambil air wudhu sebagai simbol kesucian. Beberapa larangan dalam berziarah juga terkadang diatur oleh penjaga arajang misalnya tidak diperkenankan bicara sombong, bicara kotor, hal-hal tabu, dan juga tidak diperkenankan menggunakan warna pakaian mencolok. Â
Beberapa kelompok masyarakat di tanah Bugis, khususnya di Kabupaten Bone bahwa beberapa di antaranya masih ada yang mempertahankan kepercayaan tentang arajang dan mappaenre. Setelah beberapa tahun pasca pelarangan oleh kelompok DI TII, mereka kembali memunculkan bahkan secara turun temurun menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Mereka yang mempercayainya datang melakukan ritual yang dinamai Mappaenre. Ritual atau praktek kebudayaan tesebut dilakukan bilamana yang bersangkutan mendapatkan rezeki, panggilan ataupun teguran dari leluhurnya.Â
Kegiatan ziarah di rumah Arajang yang dilakukan secara terencana disebut Mappaenre Arajang. Disebut terencana sebab apa yang dilakukan dikoordinasikan terlebih dahulu kepada penjaga Arajang, pabbaca dan sanak keluarga. Berbeda ketika ziarah biasa, yakni hanya membaca doa, sedekah berupa uang, rokok, atau hal lain yang tidak mudah basi. Kegiatan ini dilakukan dengan dampingan pabbaca tanpa harus ada selamatan. Sementara Mappaenre di rumah Arajang atau lazim mereka namai mappaleppe. Kegiatan ini dilakukan bilamana yang punya hajatan memiliki kecukupan biaya sebab beragam persiapan. Mulai dari ayam kampung, telur, beras biasa, beras ketan, kelapa muda, dan lauk pauk lainnya.Â
Dalam kegiatan ritual tersebut dihadiri oleh beberapa orang dari keluarga yang punya hajatan. Setelah ritual Mappaenre dilakukan dilanjutkan dengan makan bersama-sama, membagikan makanan kepada warga yang hadir, tetangga di rumah Arajang dan bagi siapa saja. Kegiatan ini kadang dilakukan bila yang bersangkutan punya rezeki, nasar, atau saat ada kegiatan lain seperti pengantin.Â
Mungkin sebagian berpandangan bahwa praktek Kebudayaan tersebut adalah hal musyrik. Namun ketika ditanya bahwa mereka menjawab tergantung niat kita. Kegiatan ini tidak lain ziarah kubur leluhurnya, mengingat kematian dan memahami silsilah keturunan, serta sedekah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H